Rabu, 26 September 2012

KORUPSI DALAM PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENANGGULANGANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

 Berdasarkan asas general principle suatu pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang menjungjung tinggi norma kesusilaan, norma kepatuhan, dan norma hukum untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.[1] Asas umum penyelenggaraan pemeritahan ini telah merefleksikan adanya interrelasi antara penanggulangan masalah korupsi dengan penciptaan pemerintahan yang baik. Penanggulangan masalah korupsi ditujukan antara lain untuk menciptakan pemerintahan yang baik yang salah satu tujuan dari pemerintahan yang baik itu sendiri adalah menanggulangi masalah korupsi.

Pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam tiga wilayah besar yang merupakan bentuk penyalahhgunaan wewenang yang berdampak kepada terjadinya korupsi, diantaranya adalah :
a.  Mercenery abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.
b.  Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/keputusan Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya (nepotis).
c.  Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung telah mendapatkan kompensasi.

Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah.

Dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat, Pemerintahan Daerah mengelola keuangan dan kekayaan daerah. Diantaranya dengan melakukan upaya- upaya yang berhubungan dengan penerimaan daerah, yang kemudian melakukan fungsi  budgeting  untuk pembangunan, bantuan masyarakat dan kegiatan usaha daerah serta investasi daerah. Terjadinya korupsi didaerah menghambat atau dapat menggagalkan tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat.

1.2  Rumusan Masalah
Apasajakah Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi Pada Pemerintahan Daerah?
2. Apasajakah Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah?
3.   Apasajakah Strategi Penanggulangan Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah?

1.3  Tujuan Pembahasan

1.   Untuk Mengetahui Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.
2. Untuk Mengetahui Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.
3. Untuk Mengetahui Strategi Penanggulangan Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.

Banyak pendapat melontarkan berbagai penyebab orang melakukan korupsi di Indonesia, diantaranya :
1.  Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat;
2.  Ada pula penulis yang menunjuk latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
3.    Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien;
4.    Penyebab korupsi adalah modernisasi; Huntington memberikan jawaban[2] :
a. modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat;
b. modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan politik tidak diatur oleh norma-norma tradisional yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongan berpengaruh dalam masyarakat;
c. modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bidang kegiatan sistem politik. Modernisasi terutama di Negara-negara yang memulai modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipatgandakan kegiatan-kegiatan yang diatur pemerintah oleh peraturan-peraturan pemerintah.

Sedangkan pada lingkungan pemerintahan daerah faktor penyebab korupsi yang paling signifikan adalah[3] :
1.  Faktor politik dan kekuasaan; korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang kekuasaan eksekutif maupun legislatif yang menyalahgunakan  kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok atau golongannya. Data dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada, apabila dibandingkan pada tahun 2009 ketika mereja yang terjerat kasus korupsi didominasi oleh anggota DPRD, pada tahun 2010 dan sesudahnya kepala daerah dan mantan kepala daerah ditempatkan pada posisi teratas sebagai pelaku korupsi.[4]modus yang dilakukan pun sangat beragam, mulai dari perjalan dinas fiktif, penggelembungan dana APBD maupun cara-cara lainnya yang bertujuan menguntungkan diri sendiri maupun golongan;
2.  Faktor ekonomi ; faktor ini dinilai tidak terlalu signifikan juka dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasan karena cenderung masih konvensional yaitu tidak seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup sehari-hari yang harus dipenuhi;
3.  Nepotisme; nepotisme yang cenderung masih kental terasa baik di sektor public maupun swasta. Di lingkungan daerah dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang menimbulkan penyalahgunaan kewenangan;
4.  Faktor pengawasan; lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti BPKP maupun Bawasda terhadap penggunaan keuang negara oleh pejabat-pejabat publik merupakan faktor yang penting yang menumbuhsuburkan budaya korupsi di daerah-daerah. Ketidak efektifan pengawasan itu sendiri sering diakibatkan sering terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara.

2.2 Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.

United Office On Drugs And Crime (UNODC) yang merupakan kantor PBB untuk masalah obat-obatan terlarang dan tindak kejahatan mengemukakan bahwa setidaknya ada empat kendala bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia termasuk di Indonesia dan pemerintahan daerahnya diantara lain:
1.  Kurangnya dana yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi. Hal ini mengindikasikan rendahnya upaya pemerintah untuk program pemberantasan korupsi yang belum menjadikan prioritas utama kebijakan pemerintahan serta political will yang masih rendah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Kurangnya bantuan yang diberikan negara-negara donor untuk program pemberantasan korupsi yang menimbulkan padangan bahwa masih minimnya kepercayaan dari negara-negara pendonor terhadap komitmen dan keseriusan pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi.
3. Kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.
4.  Rendahnya insentif dan gaji pejabat publik yang bisa mengancam profesionalisme, kapabilitas dan independensi hakim maupun aparat-aparat penegak hukum lainnya
Disamping faktor-faktor di atas keadaan di Indonesia menjadi tambah rumit karena terjadinya perdebatan tiada henti tentang posisi dan kedudukan hukum dari kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara. Perdebatan yang dimaksud adalah adanya beberapa pihak yang berpendapat bahwa kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara dapat disentuh oleh hukum pidana sehingga pejabat yang melakukan korupsi dapat dijerat oleh hukum pidana, sedangkan beberapa pihak lain berpendapat bahwa hukum administrasi negara merupakan satu-satunya perangkat hukum yang dapat menyentuh kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara. Akan tetapi perdebatan ini cenderung berlarut-larut tanpa adanya solusi yang efektif bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

2.3 Strategi Penanggulangan Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.

Ada dua pendekatan hukum yang dapat digunakan sebagai sarana  untuk memberantas tindak pidana korupsi yaitu :
1. Pendekatan preventive administrative; pendekatan ini disalurkan melalui bekerjanya ketentuan-ketentuan hukum tata usaha negara;
2. Pendekatan repressive judicial; pendekatan ini disalurkan melalui bekerjanya ketentuan-ketentuan hukum pidana.
Hukum pidana akan berfungsi sebagai penangkal tahap kedua setelah bekerjanya hukum tata usaha negara. Ketentuan perundang-undangan yang ada dalam ruang lingkup hukum tata usaha negara akan berfungsi mengatur dan  mengarahkan mekanisme tata usaha negara agar dapat mengurangi dan mencegah berbagai bentuk penyelewengan. Ketentuan hukum pidana sendiri berfungsi sebagai tanggul aktif yang mengiringi bekerjanya hukum tata usaha negara.[5] Kedua hal tersebut harus berjalan secara overall, integral dan simultan.

Secara substansial Indonesia memiliki seperangkat peraturan perundang-undangan (legal substance) untuk memberantas tindak pidana korupsi dan secara struktur juga memiliki banyak instansi (legal structure) yang seharusnya dapat didayagunakan untuk memberantas korupsi. Indonesia dirasa kurang memiliki budaya hukum (legal culture) yang merupakan kata kunci untuk keluar dari persoalan korupsi yang terjadi yang seolah-olah kalah dari kekuatan politik, uang dan sebagainya.

Indonesia telah berupaya melakukan legal reform untuk memberantas tindak pidana korupsi dengan membentuk perundang-undangan baru yakni Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001. Legal spirit dari kedua Undang-Undang ini korupsi digolongkan sebagai “extra ordinary crime” oleh karena itu diperlukan pemberantasan dengan menggunakan “extra ordinary instrument”.[6]

Timbul pemikiran bagaimana cara menumbuhkan kesadaran budaya hukum pada masyarakat. Karena legal reform tidak dirasakan manfaatnya tanpa adanya perhatian yang lebih terhadap budaya hukum.  Tanpa adanya upaya merubah persepsi dan perilaku mengenai korupsi maka upaya apapun tidak bisa mengatasi permasalah ini.  Strategi yang perlu dikembangkan adalah membangkitkan motivasi masyarakat untuk berpartisipasi yang diharapkan mampu memerangi korupsi. Dengan informasi yang diberikan masyarakat akan sangat berharga. Masyarakat dapat melaksanakan fungsi sosial kontrolnya untuk mengawasi jalannya proses penegakan hukum, sehingga dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Ada tiga tujuan strategis yang dapat dikembangkan untuk memberdayakan peran serta masyarakat lokal, yaitu[7] :
1. Lembaga pemerintah harus memberikan peluang bagi pengawasan masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan pemerintahan;
2. Menciptakan dan mendukung banyak organisasi pengawasan dari masyarakat;
3. Menyelesaikan kasus-kasus (kolusi, korupsi dan nepotisme) KKN di daerah.

Dari masing-masing tujuan strategis tersebut, ada beberapa hasil yang dapat diharapkan, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
1.      Hasil yang diharapkan dari tujuan strategis pertama:
a.   Jangka pendek : organisasi pengawasan oleh rakyat dibentuk, difungsikan dan diberikan akses atau kekuasaan untuk mengawasi praktik-praktik kerja pemerintah seperti pembuatan kebijakan public, pemantauan dan evaluasi dari kebijakan tersebut;
b.  Jangka menengah : organisasi pengawasan oleh rakyat berjalan dengan lancer dan akses untuk melakukan pengawasan diakomodasikan di dalam sistem;
c.  Jangka panjang : organisasi pengawasan oleh rakyat berjalan dengan lancar.
2.      Hasil yang diharapkan dari tujuan strategis kedua:
a.  Jangka pendek : mengidentifikasi lembaga-lembaga yang paling korup, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota dan menciptakan organisasi pengawas untuk memonitor mereka;
b.  Jangka menengah : secara berkala mengumumkan hasil temuan organisasi pengawas dan mengusulkan perbaikan system dan kinerja dalam institusi yang korup tersebut;
c. Jangka panjang : organisasi pengawas menjadi bagian dari masyarakat madani di negeri.
3.      Hasil yang diharapkan dari tujuan strategis ketiga:
a. Jangka pendek : gerakan anti korupsi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk menekan pemerintah agar menyelesaikan kasus-kasus korupsi kian  menguat;
b. Jangka menengah : organisasi-organisasi anti korupsi yang kuat terbentuk di daerah-daerah;
c. Jangka panjang : warga Negara menerapkan sanksi sosial untuk menghukum para koruptor untuk mendorong penegakan hukum.

Gerakan anti korupsi sebagai sebuah sosial yang cukup strategis apabila dimulai dari tingkat paling bawah, seperti gerakan daerah anti korupsi ditingkat kabupaten dan kota yang pada akhirnya bermuara pada sebuah gerakan nasional anti korupsi. Cikal bakal dari gerakan anti korupsi harus dimulai dari pembentukan organisasi-organisasi anti korupsi di tingkat daerah, dengan ditopang oleh kalangan akademisi dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang dapat diaktualisasikan untuk memerangi korupsi.[8]

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1.  Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi di pemerintahan daerah adalah faktor politik dan kekuasaan dimana yang berkuasa cenderung menyalahgunakan wewenangnya untuk mendapatkan keuntungan baik untuk dirinya sendiri maupun golongan, faktor ekonomi dari segi pemenuhan kebutuhan sehari-hari, faktor nepotisme yang mementingkan kepentingan golongan tertentu dan faktor pengawasan terhadap pemerintah yang dirasakan masih lemah.
2.  Masalah-masalah yang timbul dalam pemberantasan korupsi di pemerintahan daerah yakni berupa kurangnya dana yang diinventasikan pemerintah untuk memberantas korupsi, kurangnya bantuan donasi dari pemerintah asing yang cenderung menimbulkan pandangan bahwa kurangnya kepercayaan pemerintahan asing terhadap pemerintah Indonesia. Selain itu juga kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi, serta rendahnya gaji pejabat yang dipandang mampu mempengaruhi keprofesionalannya dalam melaksanakan tugas.
3.   Ditetapkannya Undang-Undang no.31 tahun 1999 jo Undang-undang no.20 tahun 2001 merupakan legal reform  pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. adapun starategi pemerintah yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi adalah dengan preventive administration (upaya administrasi) sebagai penangkal awal dengan diberlakukannya ketentuan hukum tata usaha Negara yana merupakan penangkal pertama dalam mengatasi korupsi yang selanjutnya strategi yang dilakukan adalah repressive judicial sebagai tanggul aktif dalam mengatasi korupsi dengan menerapkan ketentuan pidana dimana kedua strategi ini harus berjalan secara integral dan simultan.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi;Melalui Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005
Elwi Danil, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, Dan Pemberantasannya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.21 Tahun 2001





[1] Elwi Danil, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, Dan Pemberantasannya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 175
[2] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi;Melalui Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005 Hal 21
[3] http://makalahpaimin.blogspot.com diakses pada tanggal 10 April 2012 pukul 20.35 wib
[4] http://www.suaramerdeka.com diakses pada tanggal 10 April 2012 pukul 20.30 wib
[5] Elwi Danil, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, Dan Pemberantasannya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 183
[6] Ibid hal 185
[7] Ibid hal 188-189
[8] Ibid, Hal 191