Rabu, 28 Maret 2012


KEKERASAN ANAK DI SEKOLAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Salah satu wilayah yang menjadi sorotan perlindungan anak adalah lingkungan sekolah. Memang belum banyak kajian komprehensif tentang praktek tindak kekerasan di sekolah. Tetapi kenyataan yang muncul terutama di media massa banyak kasus kekerasan terjadi terhadap anak di sekolah. Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk perlakuan salah secara fisik, dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggungjawab, kepercayaan, atau kekuasaan.[1]
Kekerasan di sekolah dapat dilakukan oleh siapa saja, dari kepala sekolah, guru, Pembina sekolah, karyawan ataupun antar siswa. Kekerasan pada siswa belakangan ini terjadi dengan dalih mendisiplinkan siswa dan tidak jarang budaya dijadikan alasan membungkus kekerasan terhadap anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan kepala sekolah, guru, Pembina sekolah, karyawan antara lain memukul dengan tangan kosong, atau benda tumpul, melempar dengan penghapus, mencubit, menampar, mencekik, menyundut rokok, memarahai dengan ancaman kekerasan, menghukum berdiri dengan satu kaki di depan kelas, berlari mengelilingi lapangan, menjemur murid di lapangan, pelecehan seksual dan pembujukan persetubuhan.[2]
Kekerasan di sekolah tidak semata-mata kekerasan fisik saja tetapi juga kekerasan psikis, seperti diskriminasi terhadap murid yang mengakibatkan murid mengalami kerugian, baik secara moril maupun materil. Diskriminasi yang dimaksud dapat berupa diskriminasi terhadap suku, agama, kepercayaan, golongan ,ras ataupun status sosial murid.
Kekerasan antar siswa juga kerap terjadi yaitu berupa bullying yang merupakan perilaku agresif dan menekan dari seseorang yang lebih dominan terhadap orang yang lebih lemah, dimana seorang siswa atau lebih secara terus-menerus melakukan tindakan yang menyebabkan siswa lain menderita. Kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik seperti memukul, menendang, menjambak dan lain-lain. Selain bullying, kekerasan antar siswa yang sering terjadi adalah tawuran. Tawuran  mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan dan mengakibatkan perubahan aspek hubungan sosial dalam masyarakat.
Selain kekerasan fisik juga terjadi kekerasan verbal seperti mengejek, menghina atau mengucapkan kata-kata yang menyinggung atau membuat cerita bohong yang menyebabkan siswa yang menjadi sasaran menjadi terkucilkan atau menjadi bahan  olok-olok sehingga siswa yang bersangkutan menjadi rendah diri, takut dan sebagainya. Penelitian terhadap 2.600 siswa SD di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa 70% mengaku pernah mendapatkan tindakan yang tidak menyenangkan selama belajar sehingga sulit konsentrasi dalam belajar.[3]
Perlindungan terhadap anak di Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dianggap belum mampu mengatasi permasalah kekerasan anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Bahkan beberapa waktu yang lalu terjadi pergolakan pro dan kontra tentang disahkannya Undang-Undang ini dalam ruang lingkup proses ajar mengajar di sekolah. Melihat dari kasus di atas diperlukan pencegahan dan penanganan lebih lanjut mengenai kekerasan anak di sekolah yang dikhawatirkan keberadaannya semakin sering terjadi di lingkungan sekolah.

1.2.Rumusan Masalah
1.   Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan anak di sekolah?
2. Bagaimanakah peran hukum positif Indonesia dalam melindungi hak-hak anak korban kekerasan di sekolah?
3. Bagaimana upaya pihak-pihak terkait dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan anak di sekolah?

1.3.Tujuan Pembahasan
1.  Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan anak di sekolah.
2.  Untuk mengetahui peran hukum positif Indonesia dalam melindungi hak-hak anak korban kekerasan di sekolah.
3. Untuk mengetahui upaya pihak-pihak terkait dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan anak di sekolah.


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Anak Di Sekolah
Siswa yang terancam atau disakiti patut diperhatikan oleh pihak sekolah, dengan memerhatikan siswa atau kelompok siswa yang rentan menjadi korban dan siswa atau kelompok siswa yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Langkah-langkah yang harus dilakukan pihak sekolah dapat berupa membuat peraturan sekolah yang bersifat mencegah dan strategi mengelola kekerasan dengan tujuan untuk melindungi siswa-siwa yang menjadi korban secara terus-menerus.
Kemampuan sekolah mencegah dan menyelesaikan kekerasan antarsiswa juga dipengaruhi keterbukaan sekolah yang bersangkutan terhadap isu kekerasan ini. Selain itu pihak sekolah bisa melibatkan peran orang tua siswa untuk menyelesaikan kekerasan ini. Harus ada ketegasan pihak sekolah dan kejelasan sanksi yang diterapkan kepada pelaku agar pelaku berfikir ulang untuk melakukan kekerasan.
Kekerasan bisa menimbulkan cedera, seperti memar atau patah tulang yang bisa menyebabkan korban meninggal dan menyeret pelakunya ke penjara. Memukul murid juga tidak akan mempengaruhi perilaku mereka, bahkan kekerasan bisa menciptakan anak menjadi pemberontak, pemalu, tidak tenang, dan tidak secara ikhlas memenuhi permintahan atau perintah orang yang sudah berlaku keras kepadanya. Bahkan menurut Eizabeth Gersholff, dalam studi meta-analitis tahun 2003, yang menggabungkan riset selama enam puluh tahun tentang hukuman fisik, menemukan bahwa satu-satunya hasil positif dari kekerasan adalah kepatuhan sesaat.[4]

Penyebab anak melakukan bullying :
1.  Lingkungan sosial yang menjadi tempat anak tinggal memberikan contoh nyata tindal kekerasan. Baik berupa kekerasan dalam sosial, ekonomi, politik dan lainnya.
2. Menurut pendekatan filogenetik, terdapat pengaruh genetik terhadap sifat kekerasan. Tetapi sifat itu akan muncul apabila dipicu oleh keadaan lingkungan masyarakat.
3. Lingkungan sekolah yang formalistik dan kaku, bahkan bisa terjadi sikap dehumanisasi, membuat jarak antara relasi pendidik dengan peserta didik.
4.  Semakin menyempitnya ruang ekspresi anak di publik. Hegemoni pada ekpresi anak akan membuat anak mencoba terus untuk mengekspresikan kepada hal yang bersifat destruktif.
Pengaruh media berdampak luar biasa pada anak. Tayangan berita film, reality show, sinetron yang menampilkan adegan-adegan kekerasan yang ditonton anak merupakan contoh nyata dan pelajaran praktis bagi anak untuk melakukan hal yang sama.
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
1.      Dari Guru, Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru melakukan kekerasan pada siswanya, yaitu:
·    Kurangnya pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai harga diri siswa.
·     Adanya masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru yang bersangkutan menjadi lebih sensitif dan reaktif.
·      Adanya tekanan kerja
2.      Dari siswa, Salah satu faktor yang bisa ikut mempengaruhi terjadinya kekerasan, adalah dari sikap siswa tersebut. Sikap siswa tidak bisa dilepaskan dari dimensi psikologis dan kepribadian siswa itu sendiri. Contohnya, anak berusaha mencari perhatian dengan bertingkah yang memancing amarah, agresifitas,atau pun hukuman. Maksud dari melakukan hal tersebut dengan tujuan yakni mendapatkan perhatian.

3.      Dari Keluarga,
a)   Pola Asuh, Anak yang dididik dalam pola asuh yang memanjakan anak dengan memenuhi semua keinginan anak cenderung tumbuh dengan sifat yang arogan dan tidak bisa mengontrol emosi. Jadi anak akan memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, dengan cara apapun juga asalkan tujuannya tercapai.

b)      Orangtua mengalami masalah psikologis
Jika orangtua mengalami masalah psikologis yang berlarut-larut, bisa mempengaruhi pola hubungan dengan anak. Misalnya, orang tua yang stress berkepanjangan, jadi sensitif, kurang sabar dan mudah marah pada anak, atau melampiaskan kekesalan pada anak. Lama kelamaan kondisi ini mempengaruhi kehidupan pribadi anak. Ia bisa kehilangan semangat, daya konsentrasi, jadi sensitif, reaktif, cepat marah, dan sebagainya.

c)      Keluarga disfungsional
Keluarga yang salah satu anggotanya sering memukul, atau menyiksa fisik atau emosi, intimidasi anggota keluarga lain atau keluarga yang sering konflik terbuka tanpa ada resolusi, atau masalah berkepanjangan yang dialami oleh keluarga hingga menyita energy psikis dan fisik, hingga mempengaruhi interaksi, komunikasi dan bahkan kemampuan belajar si anak.
4.      Dari Lingkungan, Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi selama ini juga terjadi karena adanya faktor lingkungan, yaitu:
·    Adanya budaya kekerasan : seseorang melakukan kekerasan karena dirinya berada dalam suatu kelompok yang sering terjadi tindakan kekerasan, sehingga memandang kekerasan adalah merupakan hal yang biasa.
·       Adanya tradisi : Contoh, kekerasan yang terjadi antara mahasiswa senior dengan mahasiswa junior, dimana mahasiswa senior tersebut meniru tindakan-tindakan yang dilakukan seniornya terdahulu yang melakukan hal yang serupa terhadap dirinya.
·      Tayangan televisi yang banyak berbau kekerasan
  1. Peran Hukum Positif Indonesia Dalam Melindungi Hak-Hak Anak Korban Kekerasan Di Sekolah
Kekerasan di sekolah baik kekerasan fisik maupun verbal bisa dikenakan sanksi hukum karena kekerasan pada dasarnya adalah tindakan pelanggaran hukum yang bisa dipidanakan. Melakukan kekerasan terhadap anak di sekolah dapat dikenai sanksi yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 77 hingga Pasal 90. Untuk kekerasan psikis terhadap anak, dapat dikenakan Pasal 77;
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
a. Diskiriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;atau
b.  Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penelantaran, baik fisik, mental, maupun sosial;
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau”.
Kekerasan terhadap anak apabila mengakibatkan kerugian secara materil juga dapat digugat secara perdata. Gugatan perdata bisa diajukan ke pengadilan negeri terhadap pelaku kekerasan di sekolah atau pihak sekolah sebagai lembaga berupa gugatan ganti rugi material dan immaterial dalam bentuk uang atau natura. Gugatan ini mengacu pada ketentuan
·         Pasal 1365 KUH Perdata; “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
·         Pasal 1366 KUH Perdata ; “setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian, atau kurang hati-hatinya”.
·         Pasal 1367 KUH Perdata ; “guru sekolah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid selama waktu murid itu berada di bawah pengawasan mereka, kecuali jika mereka dapat mencegah perbuatan yang mesti mereka seharusnya bertanggungjawab”.

3.    Upaya Pihak-Pihak Terkait Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Kekerasan Anak Di Sekolah
§  Reaksi pendidik
Selama perjalanan penegakan Undang-Undang Perlindungan Anak, muncul sikap-sikap yang  tidak setuju terhadap Undang-Undang tersebut. Pernah muncul wacana Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Wacana ini melakukan upaya pengecualian hukum pidana bagi kalangan penduduk yang melakukan kekerasan terhadap peserta didik. Lahir pula pendapat dan argument yang menyatakan Undang-Undang Perlindungan Anak akan menghambat proses pendidikan, menjadi penghalang dalam pelaksanaan tugas profesi sebagai guru. Alasannya sederhana, guru tidak bisa lagi menghukum siswa dengan kekerasan. Kata lain dari pendisiplinan yang menyebabkan kerugian bagi siswa, baik secara fisik maupun psikis.[5]

§  Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan pada siswa di Sekolah
Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi kekerasan pada siswa di sekolah, yaitu:
a.       Bagi Sekolah
·      Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah
·     Pendidikan tanpa kekerasan adalah suatu pendidikan yang ditujukan pada anak dengan mengatakan "tidak" pada kekerasan dan menentang segala bentuk kekerasan. Hukuman yang diberikan, berkorelasi dengan tindakan anak. Ada sebab ada akibat, ada kesalahan dan ada konsekuensi tanggung jawabnya.Dengan menerapkan hukuman yang selaras dengan konsekuensi logis tindakan siswa yang dianggap keliru, sudah mencegah pemilihan / tindakan hukuman yang tidak rasional.
·    Sekolah terus mengembangkan dan membekali guru baik dengan wawasan / pengetahuan, kesempatan untuk punya pengalaman baru, kesempatan untuk mengembangkan kreativitas mereka. Guru juga membutuhkan aktualisasi diri, tidak hanya dalam bentuk materi, status, dsb. Guru juga senang jika diberi kesempatan untuk menuangkan aspirasi, kreativitas dan mencoba mengembangkan metode pengajaran yang menarik tanpa keluar dari prinsip dan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, sekolah juga bisa memberikan pendidikan psikologi pada para guru untuk memahami perkembangan anak serta dinamika kejiwaan secara umum. Dengan pendekatan psikologi, diharapkan guru dapat menemukan cara yang lebih efektif dan sehat untuk menghadapi anak didik.
·   Konseling. Bukan hanya siswa yang membutuhkan konseling, tapi guru pun mengalami masa-masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan, atau pun bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.
·     Segera memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan menindaklanjuti kasus tersebut dengan cara adekuat.
Sekolah yang ramah bagi siswa merupakan sekolah yang berbasis pada hak asasi, kondisi belajar mengajar yang efektif dan berfokus pada siswa, dan memfokuskan pada lingkungan yang ramah pada siswa. Menurut Rini (2008), perlu di kembangkan pembelajaran yang humanistik yaitu model pembelajaran yang menyadari bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi yang otomatis namun membutuhkan keterlibatan mental, dan berusaha mengubah suasana belajar menjadi lebih menyenangkan dengan memadukan potensi fisik dan psikis siswa.
b.      Bagi Orangtua atau keluarga
·    Perlu lebih berhati-hati dan penuh pertimbangan dalam memilihkan sekolah untuk anak-anaknya agar tidak mengalami kekerasan di sekolah.
·    Menjalin komunikasi yang efektif dengan guru dan sesama orang tua murid untuk memantau perkembangan anaknya.
·    Orangtua menerapkan pola asuh yang lebih menekankan pada dukungan daripada hukuman, agar anak-anaknya mampu bertanggung jawab secara sosial
·      Hindari tayangan televisi yang tidak mendidik, bahkan mengandung unsur kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan dalam film cenderung dikorelasikan dengan heroisme, kehebatan, kekuatan dan kekuasaan.
·   Setiap masalah yang ada, sebaiknya dicari solusi / penyelesaiannya dan jangan sampai berlarut-larut. Kebiasaan menunda persoalan, menghindari konflik, malah membuat masalah jadi berlarut-larut dan menyita energy. Sikap terbuka satu sama lain dan saling mendukung, sangat diperlukan untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan baik.
·   Carilah bantuan pihak professional jika persoalan dalam rumah tangga, semakin menimbulkan tekanan hingga menyebabkan salah satu atau beberapa anggota keluarga mengalami hambatan dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari.
c.       Bagi siswa yang mengalami kekerasan, Segera sharing pada orangtua atau guru atau orang yang dapat dipercaya mengenai kekerasan yang dialaminya sehingga siswa tersebut segera mendapatkan pertolongan untuk pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.[6]
Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak, baik guru, orang tua dan siswa untuk memahami bahwa kekerasan bukanlah solusi atau aksi yang tepat, namun semakin menambah masalah. Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat dan mengurangi terjadinya kekerasan pada siswa. Perlu diingat, bahwa untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan kerjasama dari semua pihak.
Selain upaya-upaya psikologis yang diterapkan dan sanksi-sanksi pidan yang diberlakukan terhadap pelaku kekerasan terhadap anak di sekolah. Pemerintah juga menerapka sekolah ramah anak (SRA) yang keberadaan guru sangat berperan. Ada beberapa langkah menuju SRA, yaitu :
1) Guru tidak mendudukkan dirinya sebagai penguasa kelas/mata pelajaran, tetapi sebagai pembimbing kelas
2) Guru seharusnya mengurangi kelantangan suara dan lebih mengutamakan keramahtamahan suara
3) Guru harus mengurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan menggantinya dengan ajakan.
4)  Hal-hal yang menekan siswa harus dikurangi sebanyak mungkin.
5) Hal-hal yang menekan diganti dengan member motivasi sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, melainkan member stimulasi.
6) Guru harus menjauhi sikap ingin menguasi siswa karena yang lebih baik adalah mengendalikan. Hal itu terungkap bukan dengan kata-kata mencela, melainkan dengan kata-kata yang membangun keberanian/kepercayaan diri siswa.
7)  Guru hendaknya menjauhkan diri dari mencari-cari kesalahan siswa, tetapi harus mengakui prestasi sekecil apa pun yang dihasilkan siswa.
8) Guru harus lebih sering melibatkan siswa, dengan lebih sering berkata “aku mengajurkan/meminta, mari kalian ikut menentukan juga”. Guru seharusnya menghindari kata-kata “aku yang menentukan, kalian menurut saja apa perintahku”[7]
Sistem sosial yang stabil (equilibrium) dan berkesinambungan (kontinuitas) senantiasa terpelihara apabila terdapat adanya pengawasan melalui dua macam mekanisme social dalam bentuk sosialisasi dan pengawasan sosial (control social).
1)  Sosialisasi maksudnya adalah suatu proses dimana individu mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada adat istiadat (norma) suatu kelompok yang ada di dalam system sosial, sehingga lambat laun yang bersangkutan akan merasa menjadi bagian dari kelompok yang bersangkutan.
2)  Pengawasan sosial adalah “proses yang direncanakan atau yang tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa masyarakat agar mematuhi norma dan nilai.” Pengertian tersebut dipertegas menjadi suatu pengendalian atau pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.[8]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Faktor terjadinya kekerasan anak di sekolah berupa pengaruh lingkungan social, factor genetik, pengaruh lingkungan sekolah, dan menyempitnya ruang ekspresi anak. Selain itu juga terdapat pengaruh yang timbul dari pihak guru, siswa itu sendiri, pengaruh dari keluarga dan pengaruh lingkungan.
 2. Pemerintah menuangkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi hak-hak anak yang di dalamnya mencakup hak-hak anak yang mengalami kekerasan, yakni dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 77 sampai dengan Pasal 90 serta dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1367.
3. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak terkait dalam menangani kekerasan anak di sekolah digerakkan oleh guru, pihak sekolah, dan terhadap siswa yang dibantu dengan control orang tua dan control dari masyarakat



[1] UNICEF; 2002
[2] Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009 hal 142
[3] Departemen Character Building Universitas Bina Nusantara, 2007
[4] Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, 2007, Kekerasan Di Sekolah, Jakarta : Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Hal 32
[5] ibid
[6] http://www.e-psikologi.com/epsi/pendidikan_detail.asp?id=499 diakses 27 Desember 2011 pukul 22.30 wib
[7] J.C Tukiman Taruna, 2007, Dalam Rika Saraswati, Dkk, 2007. Safe School Dan Kekerasan Berbasis Jender : Studi Eksploratif Di Sekolah Menengah Di Kota Semarang, Laporan Penelitian, Tidak Dipublikasikan, Semarang : Pusat Studi Wanita Unika Soegijapranata.
[8] Www.Blog.Ac.Id/Fenomena-Tawuran-Antar-Pelajar Diakses Pada Tanggal 4 Januari 2012 Pukul 15.00 Wib

Selasa, 27 Maret 2012

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYELESAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN (TIPIRING) DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP


Pada tanggal 27 Februari 2012 Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP. Perma ini lahir karena banyak bermunculan aksi protes tentang rasa keadilan yang dirasakan masyarakat selama ini seperti kasus pencurian nenek Minah, pencurian sandal jepit, kakao, segenggam merica oleh seorang kakek, pencurian kartu perdana 10.000 ribu oleh siswa smp dan sebagainya. Adapun Pasal-Pasal dari Perma no.2 Tahun 2012 tersebut antara lain :
1)      Pasal 1, dijelaskan bahwa kata-kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 atau dua juta lima ratus ribu rupiah. 
2)   Pasal 2 ayat (1), dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan dari penuntut umum, ketua pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara dan memperhatikan pasal 1 di atas
3)      Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan, apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp 2,5 Juta, Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP dan Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan
4)   Pasal 3 mengenai denda, dipersamakan dengan pasal mengenai penahanan pada Perma Nomor 2 Tahun 2012 yaitu dikalikan 10 ribu dari tiap-tiap denda misalnya, Rp 250 menjadi Rp 2,5 juta sehingga denda yang dibawah Rp 2,5 juta tidak perlu masuk dalam upaya hukum kasasi.
5)      Pasal 4, menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, hakim wajib mmeperhatikan pasal 3 di atas
6)      Pasal 5, peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku pada hari ditetapkan

Diterbitkannya Perma ini ditujukan untuk menyelesaikan penafsiran tentang nilai uang pada Tipiring dalam KUHP. Perma ini diharapkan mampu memberikan kemudahan kepada terdakwa yang terlibat dalam perkara tipiring agar tidak perlu menunggu persidangan berlarut-larut sampai ke tahap kasasi seperti yang terjadi pada kasus Nenek Rasminah. Perma ini juga diharapkan agar dapat menjadi jembatan bagi para hakim sehingga mampu lebih cepat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat terutama bagi penyelesaian Tipiring sesuai dengan bobot tindak pidananya. Perma ini juga ditujukan untuk menghindari masuknya perkara-perkara yang berpotensi mengganggu rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat dan secara tidak langsung akan membantu sistem peradilan pidana untuk bekerja lebih efektif dan efisien.

Akan tetapi diterbitkannya Perma ini juga menimbulkan kontra dari berbagai pihak khususnya praktisi hukum. Dapat ditafsirkan bahwa dalam ketentuan Perma ini kasus pencurian di bawah dua juta lima ratus ribu rupiah, tidak bisa ditahan dan kasus pencurian tersebut diselesaikan dalam waktu satu hari saja. Perma ini bisa menimbulkan penafsiran-penafsiran yang tidak baik. Salah satu penafsiran itu diantaranya memicu orang-orang untuk melakukan pencurian ringan, beramai-ramai mengambil milik orang lain yang nilainya di bawah dua juta lima ratus ribu rupiah. Bagi remaja yang rentan berperilaku menyimpang akan dengan mudah melakukan tipiring.

Ketentuan Perma ini dikhawatirkan dijadikan alat untuk berlindung bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab, serta menjadi alat tawar menawar penegak hukum di tingkat bawah khususnya, dengan mengatur batas nominal nilai yang dicuri sehingga terbebas dari jeratan hukum. Kekhawatiran dari Perma ini nantinya semakin memarak­kan permainan jual beli hukum. Perma ini menimbulkan kesan terburu-buru, seharusnya dilakukan pembahasan dengan pakar-pakar dan praktisi hukum sehingga ditemukan cara penanggulangan yang tepat dan efektif untuk menangani kasus-kasus tipiring tersebut.

Pasal 79 Undang-Undang No.14 tentang Mahkamah Agung jo Undang-Undang No.4 tentang Perubahan Pertama Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung beserta penjelasannya berbunyi :
“ Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini.”

 Pada penjelasan UU di atas dinyatakan bahwa apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal,  Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan Undang-Undang ini Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekosongan atau kekurangan tadi. Dengan Undang-Undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum ada atau tidak diatur dalam undang-undang ini.

Pada pertimbangan Perma ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengubah KUHP, melainkan hanya melakukan penyesuaian nilai uang yang sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Namun diliat dari butiran Pasal-Pasal dalam Perma ini secara tidak langsung merubah ketentuan dalam KUHP dan seakan menjadi lex spesialis dari KUHP yang mengatur tentang hukum pidana materil bukan ranah hukum pidana formil, karena ketentuan materilnya dirubah maka secara otomatis penegakan hukum formilnya akan menyesuaikan. Tentunya hal ini menimbulkan kerancuan dan tidak sejalan dengan pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung.

 Tahap formulasi dari Perma ini bertolak dari pemikiran-pemikiran berdasarkan perilaku masyarakat yang menuntut keadilan bagi terdakwa tipiring, namun kekhawatiran penafsiran-penafsiran yang keliru yang timbul kemudian harus dikaji kembali melalui tahap aplikasi, apakah penerapannya telah  mencapai tujuan hukum itu sendiri.



MANFAAT TEORI PEMIDANAAN DALAM PEMBENTUKAN RANCANGAN KONSEP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Isu hukuman mati selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, maupun para pengambil kebijakan. Kontroversi hukuman mati juga banyak terjadi baik itu di panggung internasional maupun nasional. Di tengah kisruh global tentang hukuman mati, di Indonesia justru praktek ini makin lazim diterapkan. Indonesia merupakan salah satu Negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini.
Di Indonesia kontroversi ini juga memanas ketika eksekusi Tibo Cs. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat kontroversial mengingat proses peradilan terhadap mereka yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menjadi pintu masuk kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka, reaksi publik yang begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga hasil pasca eksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan.[1]
Timbulnya kontrofersi mengenai pidana mati juga diperdebatkan akibat adanya Amandemen Kedua Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu, sifatnya yang  merupakan Hak Asasi Manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Yang membawa implikasi hukum mendasar bahwa konstitusi tidak lagi mengizinkan pidana mati karena sesuai dengan asas lex superiori deragat lex inferiori Undang-Undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Perundang-Undangan  yang lebih tinggi. Sehingga semua produk hukum yang masih mencantumkan pidana mati sebagai ancaman pidana harus diubah atau dibenahi.
Pidana mati diberikan dalam rangka untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak bisa kembali ke masyarakat karena kejahatan yang mereka lakukan termasuk dalam kualifikasi serious crimes. Bermacam-macam cara pemidanaan ataupun ancaman hukuman yang dalam hal ini hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan hukum. Pidana mati merupakan salah satu jenis cara penegakan hukum pidana yang paling kontroversial didunia.
Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan Konsep KUHP (Baru), pidana mati  masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan. Pengaturan pidana mati dalam Rancangan Konsep KUHP (RKKUHP) diatur dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 89.
Rancangan Konsep KUHP menganut sistem pemidanaan dua jalur (double track system) dimana di samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment), dapat juga dikenakan berbagai tindakan (treatment). Selain itu, dalam jenis-jenis pemidanaan dalam RKUHP ini juga bertambah dengan adanya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang merupakan bagian dari pidana pokok, jenis tindak pidana yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam KUHP Indonesia.
Namun di tengah beberapa perubahan yang mendasar tersebut, ternyata dalam RKUHP masih mengatur beberapa ketentuan yang selama ini menjadi kontroversi, misalnya ketentuan tentang hukuman mati. Di samping itu, RKUHP juga memasukkan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pemidanaan (denda) adat yang mempunyai rumusan tidak rinci dan sangat tergantung pada putusan hakim. RKUHP sejak awal terlihat tidak cukup konsisten dalam menentukan tujuan pemidanaan dan penetapan sanksi-sanksinya.
Penyusunan Rancangan Konsep KUHP bukanlah sekedar melakukan revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang, melainkan dimaksudkan untuk merombak secara total Kitab Undang-undang Hukum Pidana peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut. Perombakan total bertujuan agar Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru diharapkan lebih mampu menyerap aspirasi dan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat kita saat ini.
Untuk itu dalam merumuskan digunakan beberapa sumber hukum yaitu Hukum Adat yang berkembang di masyarakat, Hukum Islam serta sumber Hukum yang berasal dari warisan hukum Belanda yang sudah diterima masyarakat dan konvensi Internasional yang masih berlaku.

1.2  Rumusan Masalah
1.    Apakah Pengertian Pemidanaan Tujuan pemidanaan dan teori Pemidanaan?
2. Bagaimanakah Pidana Mati Dalam Hukum Adat Dan Hukum Islam Serta Pengaturannya Dalam KUHP?
3.    Bagaimanakah Pengaturan Pidana Mati Dalam Rancangan Konsep KUHP?

1.3  Tujuan Pembahasan
1.  Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pemidanaan, tujuan pemidanaan dan teori pemidanaan.
2. Untuk Mengetahui Pidana Mati Dalah Hukum Adat Dan Hukum Islam Serta Pengaturannya Dalam KUHP.
3.   Untuk mengetahui pengaturan pidana mati dalam konsep rancangan KUHP.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pemidanaan Tujuan pemidanaan dan teori Pemidanaan
Dalam hukum pidana objektif berisi tentang berbagai macam perbuatan yang dilarang, terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana kepada barangsiapa yang melakukannya. Sanksi pidana yang telah ditetapkan dalam undang-undang kemudian oleh Negara dijatuhkan dan dijalankan kepada pelaku perbuatan.[2]
Stelsel pidana adalah bagian dari hukum penitensir yang berisi tentang jenis pidana, batas-batas penjatuhan pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan dimana menjalankannya, begitu juga mengenai pengurangan, penambahan dan pengecualian penjatuhan pidana.[3]
 Selain itu hukum penitensir juga berisi tentang system tindakan dalam usaha mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban, menlindunginya dari perkosaan-perkosaan terhadap berbagai kepentingan hukum, secara represif disamping diberi hak dan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana, Negara juga diberi hak untuk menjatuhkan tindakan.
Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama yaitu berupa penderitaan. Perbedaannya terletak kepada tindakan lebih kecil atau ringan daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman.[4]
Istilah hukuman mengandung pengertian umum sebagai sanksi yang dengan sengaja ditimpakan kepada seseorang yang telah melalukan pelanggaran hukum, baik hukum pidana maupun hukum perdata. Sedangkan istilah pidana merupakan suatu pengertian yang khusus yang berkaitan dengan hukum pidana yang berarti apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum pidana, maka pelaku dapat dikenakan sanksi berupa pidana. Demikian halnya penyebutan sanksi dalam perkara pidana disebut dengan pemidanaan dan bukan penghukuman.[5]
Pemidanaan dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan konkritisasi atau realisasi dari ketentuan pidana dalam undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak. Pemidanaan adalah hal yang berkenaan dengan pidana seperti tujuan, atau maksud dijatuhkannya pidana.(KUHAP, 199:1)
Menurut Prof. Muladi unsur-unsur yang terkandung dalam suatu pidana adalah :
1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan sesuatu pengenaan atau penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang);
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang.
Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir yaitu[6]:
1.    kelakuan dan akibat (perbuatan);
2.  hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pembuat;
3. karena adanya unsur tambahan atau disebut juga dengan unsur-unsur yang memberatkan pidana;
4.    unsur melawan hukum yang objektif;
5.    unsur melawan hukum subjektif.
Teori mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam pengembangan ilmu karena teori dapat memberikan kegunaan atau kemanfaatan, baik bagi pengembangan ilmu pengetahuan maupun untuk hal-hal yang bersifat praktis. Soerjono Soekanto mengemukakan lima kegunaan teori, yaitu :
1. Suatu teori atau beberapa teori merupakan ikhtisar hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang dipelajari sosiologi.
2. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada seseorang yang memperdalam pengetahuannya di bidang sosiologi
3.   Teori berguna untuk lebih mempertajam atau mengkhususkan fakta yang dipelajari oleh sosiologi.
4.   Suatu teori akan sangat berguna dalam mengembangkan system klasifikasi fakta, membina stuktur konsep-konsep, serta mengembangkan definisi-definisi yang penting untuk penelitian.
5.  Pengetahuan teoritis memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan proyeksi sosial, yaitu usaha untuk dapat mengetahui kearah mana masyarakat akan berkembang atas dasar fakta yang diketahui pada masa yang lampau dan masa sekarang ini.[7]
Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada pelaku yang telah melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.[8]
Istilah teori pemidanaan berasal dari Inggris, yaitu comdemnation theory. Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada pelaku yang telah melakukan perbuatan pidana. Pihak yang mempunyai wewenang menjatuhkan sanksi pidana itu adalah Negara. Negara sebagai sebuah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat.
Teori pemidanaan merupakan teori-teori yang mengkaji dan menganalisis mengapa Negara menjatuhkan pidana kepada pelaku yang telah melakukan kejahatan, apakah karena adanya unsur pembalasan atau menakuti masyarakat, dan atau melindungi atau memperbaiki masyarakat.
Para ahli seperti Algra, L.J van Apeldoorn dan muladi mempunyai pendapat masing-masing mengenao jenis teori pemidanaan ini yang apabila kesemua pendapat mereka disentesiskan maka jenis teori pemidanaan tersebut terdiri dari :
1.      Teori Mutlak (Absolute Theorie) atau teori pembalasan
Menurut algra dan kawan-kawan berpendapat negara harus mengadakan hukuman terhadap para pelaku karena orang telah berbuat dosa (quia pactratum). L.J van Apeldoorn berpendapat teori absolute adalah teori yang membenarkan adanya hukuman hanya semata-mata atas dasar delik yang dilakukan. Hanya dijatuhkan hukuman “quia pecattum est” artinya karena orang membuat kejahatan. Tujuan hukum terletak pada hukuman itu sendiri. Hukuman merupakan akibat mutlak dari sesuatu delik, balasan dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Muladi berpendapat teori absolute memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri.
Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
Dari pendapat ketiga ahli di atas dapat ditarik perbedaan dan persamaan mengenai teori absolut ini. Perbedaannya antara lain :
1) Algra dan kawan-kawan menitikberatkan analisisnya tentang teori absolute pada orang yang telah berbuat dosa (quia pacratum);
2)  L.J van Apeldoorn menitikberatkan analisisnya tentang teori absolute bahwa hukuman dijatuhkan semata-mata karena adanya orang yang membuat kejahatan;
3)   Muladi menitikberatkan analisisnya tentang teori absolute pembalasan.
Persamaan ketiga pandangan teori absolute ini adalah sama-sama menjatuhkan pidana kepada para pelaku yang melakukan kejahatan. Vos membagi teori absolute ini atas dua macam yaitu :
1)      Pembalasan subjektif yaitu pembalasan terhadap kesalahan pelaku;
2)  Pembalasan objektif yaitu pembalasan terhadap apa yang telah  diciptakan oleh pelaku di dunia luar.
Leo Polak mengemukakan ada tiga syarat dalam penjatuhan pidana, yang meliputi:
1)  Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif;
2)    Pidana hanya boleh memerhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi;
3)  Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.
   
2.      Teori Relatif
Teori relatif berpendapat sebagai berikut, “Negara menjatuhkan hukuman kepada penjahat sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Tujuan hukum itu adalah menakut-nakuti seseorang dari melaksanakan perbuatan jahat”. Teori relatif ini dibagi menjadi dua ajaran yaitu :
1)   Teori yang menakut-nakuti
Tujuan hukuman adalah menakut-nakuti perbuatan kejahatan, baik yang menakut-nakuti anggota masyarakat maupun yang menakut-nakuti pelaku sendiri yaitu untuk mencegah perbuatan ulangan.
2)   Teori memperbaiki penjahat
Tujuan hukuman adalah dalam usaha memperbaiki penjahat. Hukuman harus mendidik penjahat menjadi orang-orang yang baik dalam pergaulan hidup.

Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus, Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai, kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya.

3.      Teori gabungan
Teori gabungan adalah teori yang menggabungkan antara teori absolute dan teori relative. Teori gabungan berpendapat bahwa “biasanya hukuman memerlukan suatu pembenaran ganda. Pemerintah mempunyai hak untuk menghukum, apabila orang berbuat kejahatan (apabila seseorang melakukan tingkah laku yang pantas dihukum) dan apabila dengan itu kelihatannya akan dapat mencapai tujuan yang bermanfaat. Hak pemerintah menghukum penjahat yang melakukan kejahatan.
Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan tersebut. Atas dasar itu kemudian baru dapat diterapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan.[9]
Teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada.

4.      Teori Retributive Teleologis
Teori ini dikemukakan oleh muladi yang mempunyai pandangan sebagai berikut “tujuan pemidanaan bersifat plural karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teologis (tujuan) dan retributive sebagai satu kesatuan”. Teori ini bercorak ganda dimana karakter retributive sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sementara karakter teologisnya terletak pad aide bahwa tujuan kritik moral tersebut adalah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana dikemudian hari.
Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, perangkat tujuan pemidanaan adalah :
a)      Pencegahan
b)      Umum dan khusus
c)      Memelihara solidaritas masyarakat
d)     Pengimbalan/pengimbangan

5.      Teori Kesalahan Korban
Dalam hal mempertanggungjawabkan pidana, korban mempunyai tanggung jawab fungsional, yakni secara aktif menghindar untuk menjadi korban dan tidak memprovokasi serta memberikan kontribusi terhadap terjadinya tindak pidana.
Model penjatuhan pidana harus mempertimbangkan aspek korban dan pelaku secara adil agar mendukung putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan, seperti :
a) Untuk penjatuhan pidana harus memenuhi syarat pemidanaan yang meliputi unsur perbuatan dan orang
b)  Apabila kedua syarat tersebut telah terpenuhi maka dapat dilakukan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana, namun sebelum pejatuhan pidana, terdapat aspek-aspek yang harus dipertimbangkan di luar syarat pemidanaan yaitu aspek korban dan aspek pelaku.
c) Semua syarat tersebut di atas terpenuhi, maka pemidanaan dpat diputuskan. Jenis dan lamanya pidana yang dijatuhkan dikorelasikan dengan terpenuhinya syarat-syarat pemidanaan serta aspek korban dan pelaku.

Tujuan pemidanaan menurut konsep Rancangan KUHP 1991/1992 dinyatakan
dalam pasal 51, adalah sebagai berikut :
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4.      Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Menurut Muladi dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus tercakup dua hal, yaitu pertama harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku dan yang kedua harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat.

2.2 Pidana Mati Dalam Hukum adat dan hukum Islam serta pengaturannya dalam KUHP
Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati juga bermacam- macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan palu dan lain-lain. Di Aceh seorang istri yang berzinah akan dibunuh. Di Batak, jika pembunuh tidak membayar maka keluarga dari yang terbunuh menyerahkan diri untuk dipidana mati, maka pidana mati segera dilaksanakan. Demikian pula bila seseorang melanggar perintah perkawinan yang eksogami.
Di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan kepada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Bali pidana mati juga diancamkan bagi pelaku kawin sumban. Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan cara ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah jika yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang.
Di Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya yaitu seorang wanita yang berhubungan dengan seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di Kepulauan Aru orang yang membawa senjata mukah, kalau ia tak dapat membayar denda ia dipidana mati. Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki dan tangannya kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati.
Di Nias bila dalam tempo tiga hari belum memberikan uang sebagai harga darah pada keluarga korban, diterapkan pidana mati. Di pulau Timor, tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di Lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan menantu dan sebagainya) dan berzinah dengan istri orang lain.
Ancaman pidana mati juga dikenal dalam hukum Islam yang dikenal dengan nama Qishash. Pandangan Islam terhadap pidana mati tercantum dalam Surat AI-Baqarah ayat 178 dan 179, yang terjemahannya sebagai berikut.
a)      Ayat 178: "Hai orang- orang yang beriman, diwajibkan atasmu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara terbunuh, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyah kepada pihak yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah satu keringanan hukuman yang telah diisyarakatkan Tuhanmu, sementara untukmu adalah menjadi rahmat pula. Siapa yang melanggar sesudah itu akan memperoleh siksa yang pedih."
b)      Ayat 179 : “ Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan) kelangsungan hidup, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa".
Qishash dalam hukum Islam adalah hukuman bunuh yang harus dilaksanakan
terhadap diri seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Tapi hukum ini tak harus dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang terbunuh memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar suatu diyah. Diyah adalah hukuman denda yang disetujui oleh kedua belah pihak atau yang ditentukan oleh hakim, apabila ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh dari hukuman Qishash.
Dalam KUHP yang berlaku sekarang ini, Indonesia manganut teori pemidanaan gabungan dimana teori ini merupakan gabungan dari teori absolut (teori pembalasan) dan teori relatif (teori tujuan). Sanksi yang dijatuhkan mengandung unsur pembalasan bagi pelaku kejahatan dan peringatan juga kepada orang lain untuk tidak melakukan kejahatan.
Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja yaitu :
1.      Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden);
2.      Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang);
3.      Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang);
4.      Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut);
5.      Pasal 340 (pembunuhan berencana);
6.      Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati);
7.      Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka beratatau mati);
8.      Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).
Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya. Peraturan-peraturan itu antara lain:
1.   Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa, Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan;
2.     Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi;
3.      Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak;
4.     Pasal 13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom;
5.     Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika;
6.    Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.

Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Untuk itu banyak suara-suara yang menentang masih berlakunya hukuman pidana mati di Indonesia.

2.3 Pidana Mati Dalam Rancangan Konsep KUHP
Selama ini belum ada rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum positif  Indonesia. Sebagai alibat tidak adanya rumusan pemidanaan ini menyebabkan banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang tidak konsisten dan tumpang tindih.[10] Rancangan KUHP baru mengalami beberapa perubahan yang beberapa konsepnya mengalami perubahan yang cukup mendasar dari waktu ke waktu, dimana hal ini menunjukkan bahwa pemberian sanksi dalam rancangan KUHP baru disesuaikan dengan perkembangan kondisi di Indonesia.
Konsep rancangan KUHP baru disusun dengan bertolak pada  tiga materi/substansi/masalah pokok pidana, yaitu :
1.      Masalah tindak pidana
2.      Masalah kesalahan/pertanggungjawaban pidana
3.      Masalah pidana dan pemidanaan[11]
Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah :
a) Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan;
b) Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan;
c)   Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai ”fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.

Di samping membuat  rumusan tentang tujuan pemidanaan, konsep rancangan KUHP juga merumuskan bermacam-macam pedoman pemidanaan, yaitu :
a)  Ada pedoman yang bersifat umum untuk memberikan pengarahan kepada hakim mengenai hal-hal apa yang sepatutnya dipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana;
b) Ada pedoman yang bersifat khusus untuk memberikan pengarahan  kepada hakim dalam memilih atau menjatuhkan jenis-jenis pidana tertentu;
c)     Ada pedoman bagi hakim dalam menerapkan sistem perumusan ancaman pidana yang digunakan dalam perumusan delik.

Tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam konsep rancangan KUHP baru yaitu bertolak dari keseimbangan antara dua sasaran pokok, yaitu perlindungan mansyarakat dan perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana.[12] Adapun tujuan pemidanaanya terdapat dalam pasal 50 konsep rancangan KUHP baru yaitu:
1.      Pemidanaan bertujuan :
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.   Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.   Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d.    Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Bertolak dari kedua sasaran pokok tersebut, maka syarat pemidanaan menurut Konsep juga bertolak dari pemikiran keseimbangan “mono dualistic” yaitu antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu;antara faktor objektif dan faktor subjektif.[13] Dari pokok pemikiran yang lebih menitikberatkan pada perlindungan kepentingan masyarakat, maka wajar apabila Konsep masih mempertahankan sanksi pidana berat, yaitu pidana mati dan pidana penjara seumur hidup.
Namun pidana mati tidak termasuk ke dalam deretan pidana pokok melainkan termasuk pidana khusus atau eksepsional yang bersifat selektif, hati-hati dan berorintasi pada kepentingan individu. Oleh karena itu, dalam Konsep ketentuan mengenai penundaan pelaksanaan pidana mati atau pidana mati bersyarat dengan masa percobaan selama 10 tahun (pasal 82 Konsep KUHP).
Jenis sanksi yang digunakan dalam konsep KUHP terdiri dari jenis pidana dan tindakan. Masing-masing jenis sanksi ini terdiri dari :
A.    Pidana
a.       Pidana pokok
1.      Pidana penjara
2.      Pidana tutupan
3.      Pidana pengawasan
4.      Pidana denda
5.      Pidana kerja sosial
b.      Pidana tambahan
1.      Pencabutan hak-hak tertentu
2.      Perampasan barang-barang tertentu dan tagihan
3.      Pengumuman putusan hakim
4.      Pembayaran ganti kerugian
5.      Pemenuhan kewajiban adat
c.       Pidana khusus : Pidana mati

B.     Tindakan
a.   Untuk orang yang tidak atau kurang mampu bertanggungjawab (tindakan dijatuhkan tanpa pidana)
-          Perawatan di rumah sakit
-          Penyerahan kepada pemerintah
-          Penyerahan kepada seseorang
b.   Untuk orang pada umumnya yang mampu bertanggungjawab (dijatuhkan bersama-sama dengan pidana)
-          Pencabutan surat izin mengemudi
-          Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
-          Perbaikan akibat-akibat tindak pidana
-          Latihan kerja
-          Rehabilitasi
-          Perawatan di dalam suatu lembaga
Pola jenis sanksi berhubungan dengan pola pembagian jenis tindak pidana yang secara kasar polanya dapat digambarkan dalam skema berikut[14] :
BOBOT DELIK
JENIS PIDANA
KETERANGAN
1.      Sangat Ringan
Denda
-        Perumusan tunggal
-    Denda ringan(kategori I atau II)
2.      Berat
Penjara dan Denda
-       Perumusan alternatif
-  Penjara berkisar 1 s.d 7 tahun
-       Denda lebih berat (kategori III-IV)
3.      Sangat Serius
-       Penjara saja
-       Mati/penjara
-      Perumusan tunggal
-    Dapat dikumulasikan dengan denda


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pemidanaan dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan konkritisasi atau realisasi dari ketentuan pidana dalam undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak. Pemidanaan adalah hal yang berkenaan dengan pidana seperti tujuan, atau maksud dijatuhkannya pidana.          Teori pemidanaan merupakan teori-teori yang mengkaji dan menganalisis mengapa Negara menjatuhkan pidana kepada pelaku yang telah melakukan kejahatan, apakah karena adanya unsur pembalasan atau menakuti masyarakat, dan atau melindungi atau memperbaiki masyarakat.
Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Suku-suku bangsa Indonesa telah mengenal pidana mati jauh sebelum bangsa Belanda datang. Ancaman pidana mati juga dikenal dalam hukum Islam yang dikenal dengan nama Qishash.
Dalam KUHP yang berlaku sekarang ini, Indonesia manganut teori pemidanaan gabungan dimana teori ini merupakan gabungan dari teori absolut (teori pembalasan) dan teori relatif (teori tujuan). Sanksi yang dijatuhkan mengandung unsur pembalasan bagi pelaku kejahatan dan peringatan juga kepada orang lain untuk tidak melakukan kejahatan. KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja.
Pidana mati masih dipertahankan dalam Konsep Rancangan KUHP di Indonesia akan tetapi keberadaan tidak lagi merupakan pidana pokok melainkan termasuk ke dalam pidana khusus yang bersifat alternatif.







































[1] Laporan HAM 2005 Kontras, Penegakkan Hukum dan HAM Masih Gelap, Kontras, Jakarta, 2006

[2] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002 hal 151
[3] Ibid hal 23
[4] Ibid hal 24
[5] Elwi Danil, Nelwitis, Hukum Penitensir, Universitas Andalas, Padang, 2002 hal 12
[6] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002 hal 63
[7] Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta 2010 Hal 18
[8] Ibid Hal 149
[9] Elwi Danil, Hukum Penintensir, Universitas Andalas, Padang, 2002 hal 34
[10] M. Solehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 131
[11] Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008 hal 74
[12] Elwi Danil, Hukum Penintensir, Universitas Andalas, Padang, 2002 hal 61
[13] Ibid hal 37
[14] Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008 hal 153