KEKERASAN ANAK DI SEKOLAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Salah
satu wilayah yang menjadi sorotan perlindungan anak adalah lingkungan sekolah.
Memang belum banyak kajian komprehensif tentang praktek tindak kekerasan di
sekolah. Tetapi kenyataan yang muncul terutama di media massa banyak kasus
kekerasan terjadi terhadap anak di sekolah. Kekerasan terhadap anak adalah
semua bentuk perlakuan salah secara fisik, dan/atau emosional, penganiayaan
seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang
mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan,
kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam
konteks hubungan yang bertanggungjawab, kepercayaan, atau kekuasaan.[1]
Kekerasan
di sekolah dapat dilakukan oleh siapa saja, dari kepala sekolah, guru, Pembina
sekolah, karyawan ataupun antar siswa. Kekerasan pada siswa belakangan ini terjadi dengan dalih
mendisiplinkan siswa dan tidak jarang budaya dijadikan
alasan membungkus kekerasan terhadap anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan
yang dilakukan kepala sekolah, guru, Pembina sekolah, karyawan antara lain
memukul dengan tangan kosong, atau benda tumpul, melempar dengan penghapus,
mencubit, menampar, mencekik, menyundut rokok, memarahai dengan ancaman
kekerasan, menghukum berdiri dengan satu kaki di depan kelas, berlari
mengelilingi lapangan, menjemur murid di lapangan, pelecehan seksual dan
pembujukan persetubuhan.[2]
Kekerasan di sekolah
tidak semata-mata kekerasan fisik saja tetapi juga kekerasan psikis, seperti
diskriminasi terhadap murid yang mengakibatkan murid mengalami kerugian, baik
secara moril maupun materil. Diskriminasi yang dimaksud dapat berupa
diskriminasi terhadap suku, agama, kepercayaan, golongan ,ras ataupun status
sosial murid.
Kekerasan
antar siswa juga kerap terjadi yaitu berupa bullying yang merupakan perilaku
agresif dan menekan dari seseorang yang lebih dominan terhadap orang yang lebih
lemah, dimana seorang siswa atau lebih secara terus-menerus melakukan tindakan
yang menyebabkan siswa lain menderita. Kekerasan yang terjadi dapat berupa
kekerasan fisik seperti memukul, menendang, menjambak dan lain-lain. Selain
bullying, kekerasan antar siswa yang sering terjadi adalah tawuran.
Tawuran mengakibatkan terjadinya
perubahan sosial yang mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan dan
mengakibatkan perubahan aspek hubungan sosial dalam masyarakat.
Selain
kekerasan fisik juga terjadi kekerasan verbal seperti mengejek, menghina atau
mengucapkan kata-kata yang menyinggung atau membuat cerita bohong yang menyebabkan
siswa yang menjadi sasaran menjadi terkucilkan atau menjadi bahan olok-olok sehingga siswa yang bersangkutan
menjadi rendah diri, takut dan sebagainya. Penelitian terhadap 2.600 siswa SD
di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa 70% mengaku pernah
mendapatkan tindakan yang tidak menyenangkan selama belajar sehingga sulit
konsentrasi dalam belajar.[3]
Perlindungan
terhadap anak di Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dianggap belum mampu mengatasi permasalah kekerasan
anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Bahkan beberapa waktu yang lalu
terjadi pergolakan pro dan kontra tentang disahkannya Undang-Undang ini dalam
ruang lingkup proses ajar mengajar di sekolah. Melihat dari kasus di atas diperlukan
pencegahan dan penanganan lebih lanjut mengenai kekerasan anak di sekolah yang
dikhawatirkan keberadaannya semakin sering terjadi di lingkungan sekolah.
1.2.Rumusan
Masalah
1. Apakah
faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan anak di sekolah?
2. Bagaimanakah
peran hukum positif Indonesia dalam melindungi hak-hak anak korban kekerasan di
sekolah?
3. Bagaimana
upaya pihak-pihak terkait dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan anak di
sekolah?
1.3.Tujuan
Pembahasan
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya
kekerasan anak di sekolah.
2. Untuk
mengetahui peran hukum positif Indonesia dalam melindungi hak-hak anak korban
kekerasan di sekolah.
3. Untuk mengetahui upaya pihak-pihak terkait dalam
mencegah dan menanggulangi kekerasan anak di sekolah.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Faktor-Faktor
Penyebab Terjadinya Kekerasan Anak Di Sekolah
Siswa
yang terancam atau disakiti patut diperhatikan oleh pihak sekolah, dengan memerhatikan
siswa atau kelompok siswa yang rentan menjadi korban dan siswa atau kelompok
siswa yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Langkah-langkah yang harus
dilakukan pihak sekolah dapat berupa membuat peraturan sekolah yang bersifat
mencegah dan strategi mengelola kekerasan dengan tujuan untuk melindungi
siswa-siwa yang menjadi korban secara terus-menerus.
Kemampuan
sekolah mencegah dan menyelesaikan kekerasan antarsiswa juga dipengaruhi
keterbukaan sekolah yang bersangkutan terhadap isu kekerasan ini. Selain itu
pihak sekolah bisa melibatkan peran orang tua siswa untuk menyelesaikan
kekerasan ini. Harus ada ketegasan pihak sekolah dan kejelasan sanksi yang
diterapkan kepada pelaku agar pelaku berfikir ulang untuk melakukan kekerasan.
Kekerasan
bisa menimbulkan cedera, seperti memar atau patah tulang yang bisa menyebabkan
korban meninggal dan menyeret pelakunya ke penjara. Memukul murid juga tidak
akan mempengaruhi perilaku mereka, bahkan kekerasan bisa menciptakan anak
menjadi pemberontak, pemalu, tidak tenang, dan tidak secara ikhlas memenuhi
permintahan atau perintah orang yang sudah berlaku keras kepadanya. Bahkan
menurut Eizabeth Gersholff, dalam studi meta-analitis tahun 2003, yang
menggabungkan riset selama enam puluh tahun tentang hukuman fisik, menemukan
bahwa satu-satunya hasil positif dari kekerasan adalah kepatuhan sesaat.[4]
Penyebab
anak melakukan bullying :
1. Lingkungan
sosial yang menjadi tempat anak tinggal memberikan contoh nyata tindal
kekerasan. Baik berupa kekerasan dalam sosial, ekonomi, politik dan lainnya.
2. Menurut
pendekatan filogenetik, terdapat pengaruh genetik terhadap sifat kekerasan.
Tetapi sifat itu akan muncul apabila dipicu oleh keadaan lingkungan masyarakat.
3. Lingkungan
sekolah yang formalistik dan kaku, bahkan bisa terjadi sikap dehumanisasi,
membuat jarak antara relasi pendidik dengan peserta didik.
4. Semakin
menyempitnya ruang ekspresi anak di publik. Hegemoni pada ekpresi anak akan
membuat anak mencoba terus untuk mengekspresikan kepada hal yang bersifat
destruktif.
Pengaruh
media berdampak luar biasa pada anak. Tayangan berita film, reality show,
sinetron yang menampilkan adegan-adegan kekerasan yang ditonton anak merupakan
contoh nyata dan pelajaran praktis bagi anak untuk melakukan hal yang sama.
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan dapat terjadi
karena beberapa faktor, yaitu:
1.
Dari
Guru, Ada beberapa faktor yang
menyebabkan guru melakukan kekerasan pada siswanya, yaitu:
· Kurangnya
pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk
memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma
psikologis dan melukai harga diri siswa.
· Adanya
masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru
yang bersangkutan menjadi lebih sensitif dan reaktif.
· Adanya
tekanan kerja
2.
Dari
siswa, Salah
satu faktor yang bisa ikut mempengaruhi terjadinya kekerasan, adalah dari sikap
siswa tersebut. Sikap siswa tidak bisa dilepaskan dari dimensi psikologis dan
kepribadian siswa itu sendiri. Contohnya, anak berusaha mencari perhatian
dengan bertingkah yang memancing amarah, agresifitas,atau pun hukuman. Maksud
dari melakukan hal tersebut dengan tujuan yakni mendapatkan perhatian.
3.
Dari
Keluarga,
a) Pola Asuh, Anak yang dididik dalam pola asuh
yang memanjakan anak dengan memenuhi semua keinginan anak cenderung tumbuh dengan sifat yang
arogan dan tidak bisa mengontrol emosi. Jadi anak akan memaksa orang lain untuk
memenuhi kebutuhannya, dengan cara apapun juga asalkan tujuannya tercapai.
b) Orangtua mengalami masalah psikologis
Jika orangtua mengalami masalah
psikologis yang berlarut-larut, bisa mempengaruhi pola hubungan dengan anak.
Misalnya, orang tua yang stress berkepanjangan, jadi sensitif, kurang
sabar dan mudah marah pada anak, atau melampiaskan kekesalan pada anak. Lama
kelamaan kondisi ini mempengaruhi kehidupan pribadi anak. Ia bisa kehilangan
semangat, daya konsentrasi, jadi sensitif, reaktif, cepat marah, dan sebagainya.
c) Keluarga disfungsional
Keluarga yang salah satu anggotanya
sering memukul, atau menyiksa fisik atau emosi, intimidasi anggota keluarga
lain atau keluarga yang sering konflik terbuka tanpa ada resolusi, atau masalah
berkepanjangan yang dialami oleh keluarga hingga menyita energy psikis dan
fisik, hingga mempengaruhi interaksi, komunikasi dan bahkan kemampuan belajar
si anak.
4.
Dari
Lingkungan, Tak
dapat dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi selama ini juga terjadi karena
adanya faktor lingkungan, yaitu:
· Adanya
budaya kekerasan : seseorang melakukan kekerasan karena dirinya berada dalam suatu
kelompok yang sering terjadi tindakan kekerasan, sehingga memandang kekerasan
adalah merupakan hal yang biasa.
· Adanya
tradisi : Contoh, kekerasan yang terjadi antara mahasiswa senior dengan
mahasiswa junior, dimana mahasiswa senior tersebut meniru tindakan-tindakan
yang dilakukan seniornya terdahulu yang melakukan hal yang serupa terhadap
dirinya.
· Tayangan
televisi yang banyak berbau kekerasan
- Peran Hukum
Positif Indonesia Dalam Melindungi Hak-Hak Anak Korban Kekerasan Di
Sekolah
Kekerasan
di sekolah baik kekerasan fisik maupun verbal bisa dikenakan sanksi hukum
karena kekerasan pada dasarnya adalah tindakan pelanggaran hukum yang bisa
dipidanakan. Melakukan kekerasan terhadap anak di sekolah dapat dikenai sanksi
yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak Pasal 77 hingga Pasal 90. Untuk kekerasan psikis terhadap anak, dapat
dikenakan Pasal 77;
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
a. Diskiriminasi
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun
moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;atau
b. Penelantaran
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penelantaran, baik
fisik, mental, maupun sosial;
Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau”.
Kekerasan
terhadap anak apabila mengakibatkan kerugian secara materil juga dapat digugat
secara perdata. Gugatan perdata bisa diajukan ke pengadilan negeri terhadap
pelaku kekerasan di sekolah atau pihak sekolah sebagai lembaga berupa gugatan
ganti rugi material dan immaterial dalam bentuk uang atau natura. Gugatan ini
mengacu pada ketentuan
·
Pasal 1365 KUH Perdata; “tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
·
Pasal 1366 KUH Perdata ; “setiap orang
bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian, atau kurang
hati-hatinya”.
·
Pasal 1367 KUH Perdata ; “guru sekolah
bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid selama waktu
murid itu berada di bawah pengawasan mereka, kecuali jika mereka dapat mencegah
perbuatan yang mesti mereka seharusnya bertanggungjawab”.
3. Upaya
Pihak-Pihak Terkait Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Kekerasan Anak Di Sekolah
§ Reaksi
pendidik
Selama perjalanan penegakan Undang-Undang
Perlindungan Anak, muncul sikap-sikap yang
tidak setuju terhadap Undang-Undang tersebut. Pernah muncul wacana
Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Wacana ini melakukan upaya pengecualian
hukum pidana bagi kalangan penduduk yang melakukan kekerasan terhadap peserta
didik. Lahir pula pendapat dan argument yang menyatakan Undang-Undang
Perlindungan Anak akan menghambat proses pendidikan, menjadi penghalang dalam
pelaksanaan tugas profesi sebagai guru. Alasannya sederhana, guru tidak bisa
lagi menghukum siswa dengan kekerasan. Kata lain dari pendisiplinan yang
menyebabkan kerugian bagi siswa, baik secara fisik maupun psikis.[5]
§ Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan
pada siswa di Sekolah
Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi
kekerasan pada siswa di sekolah, yaitu:
a.
Bagi
Sekolah
· Menerapkan
pendidikan tanpa kekerasan di sekolah
· Pendidikan
tanpa kekerasan adalah suatu pendidikan yang ditujukan pada anak dengan
mengatakan "tidak" pada kekerasan dan menentang segala bentuk
kekerasan. Hukuman yang diberikan, berkorelasi dengan tindakan anak. Ada sebab
ada akibat, ada kesalahan dan ada konsekuensi tanggung jawabnya.Dengan
menerapkan hukuman yang selaras dengan konsekuensi logis tindakan siswa yang
dianggap keliru, sudah mencegah pemilihan / tindakan hukuman yang tidak
rasional.
· Sekolah
terus mengembangkan dan membekali guru baik dengan wawasan / pengetahuan,
kesempatan untuk punya pengalaman baru, kesempatan untuk mengembangkan
kreativitas mereka. Guru juga membutuhkan aktualisasi diri, tidak hanya dalam
bentuk materi, status, dsb. Guru juga senang jika diberi kesempatan untuk menuangkan
aspirasi, kreativitas dan mencoba mengembangkan metode pengajaran yang menarik
tanpa keluar dari prinsip dan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, sekolah juga
bisa memberikan pendidikan psikologi pada para guru untuk memahami perkembangan
anak serta dinamika kejiwaan secara umum. Dengan pendekatan psikologi,
diharapkan guru dapat menemukan cara yang lebih efektif dan sehat untuk
menghadapi anak didik.
· Konseling.
Bukan hanya siswa yang membutuhkan konseling, tapi guru pun mengalami masa-masa
sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan, atau pun bimbingan untuk menemukan
jalan keluar yang terbaik.
· Segera
memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami tindakan kekerasan di
sekolah, dan menindaklanjuti kasus tersebut dengan cara adekuat.
Sekolah yang ramah bagi siswa merupakan sekolah yang
berbasis pada hak asasi, kondisi belajar mengajar yang efektif dan berfokus
pada siswa, dan memfokuskan pada lingkungan yang ramah pada siswa. Menurut Rini
(2008), perlu di kembangkan pembelajaran yang humanistik yaitu model
pembelajaran yang menyadari bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi yang
otomatis namun membutuhkan keterlibatan mental, dan berusaha mengubah suasana
belajar menjadi lebih menyenangkan dengan memadukan potensi fisik dan psikis
siswa.
b.
Bagi
Orangtua atau keluarga
· Perlu
lebih berhati-hati dan penuh pertimbangan dalam memilihkan sekolah untuk
anak-anaknya agar tidak mengalami kekerasan di sekolah.
· Menjalin
komunikasi yang efektif dengan guru dan sesama orang tua murid untuk memantau
perkembangan anaknya.
· Orangtua
menerapkan pola asuh yang lebih menekankan pada dukungan daripada
hukuman, agar anak-anaknya mampu bertanggung jawab secara sosial
· Hindari tayangan televisi yang tidak
mendidik, bahkan mengandung unsur kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan dalam
film cenderung dikorelasikan dengan heroisme, kehebatan, kekuatan dan
kekuasaan.
· Setiap
masalah yang ada, sebaiknya dicari solusi / penyelesaiannya dan jangan sampai
berlarut-larut. Kebiasaan menunda persoalan, menghindari konflik, malah membuat
masalah jadi berlarut-larut dan menyita energy. Sikap terbuka satu sama lain
dan saling mendukung, sangat diperlukan untuk menyelesaikan setiap persoalan
dengan baik.
· Carilah
bantuan pihak professional jika persoalan dalam rumah tangga, semakin
menimbulkan tekanan hingga menyebabkan salah satu atau beberapa anggota
keluarga mengalami hambatan dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari.
c.
Bagi
siswa yang mengalami kekerasan, Segera sharing pada orangtua atau guru atau orang
yang dapat dipercaya mengenai kekerasan yang dialaminya sehingga siswa tersebut
segera mendapatkan pertolongan untuk pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.[6]
Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak, baik guru,
orang tua dan siswa untuk memahami bahwa kekerasan bukanlah solusi atau aksi
yang tepat, namun semakin menambah masalah. Semoga pembahasan ini dapat
bermanfaat dan mengurangi terjadinya kekerasan pada siswa. Perlu diingat, bahwa
untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan kerjasama dari semua pihak.
Selain
upaya-upaya psikologis yang diterapkan dan sanksi-sanksi pidan yang
diberlakukan terhadap pelaku kekerasan terhadap anak di sekolah. Pemerintah
juga menerapka sekolah ramah anak (SRA) yang keberadaan guru sangat berperan.
Ada beberapa langkah menuju SRA, yaitu :
1) Guru
tidak mendudukkan dirinya sebagai penguasa kelas/mata pelajaran, tetapi sebagai
pembimbing kelas
2) Guru
seharusnya mengurangi kelantangan suara dan lebih mengutamakan keramahtamahan
suara
3) Guru
harus mengurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan menggantinya dengan
ajakan.
4) Hal-hal
yang menekan siswa harus dikurangi sebanyak mungkin.
5) Hal-hal
yang menekan diganti dengan member motivasi sehingga bukan paksaan yang
dimunculkan, melainkan member stimulasi.
6) Guru
harus menjauhi sikap ingin menguasi siswa karena yang lebih baik adalah mengendalikan. Hal itu terungkap bukan dengan kata-kata mencela, melainkan
dengan kata-kata yang membangun keberanian/kepercayaan diri siswa.
7) Guru
hendaknya menjauhkan diri dari mencari-cari kesalahan siswa, tetapi harus
mengakui prestasi sekecil apa pun yang dihasilkan siswa.
8) Guru
harus lebih sering melibatkan siswa, dengan lebih sering berkata “aku
mengajurkan/meminta, mari kalian ikut menentukan juga”. Guru seharusnya
menghindari kata-kata “aku yang menentukan, kalian menurut saja apa perintahku”[7]
Sistem
sosial yang stabil (equilibrium) dan berkesinambungan (kontinuitas) senantiasa
terpelihara apabila terdapat adanya pengawasan melalui dua macam mekanisme
social dalam bentuk sosialisasi dan pengawasan sosial (control social).
1) Sosialisasi
maksudnya adalah suatu proses dimana individu mulai menerima dan menyesuaikan
diri kepada adat istiadat (norma) suatu kelompok yang ada di dalam system
sosial, sehingga lambat laun yang bersangkutan akan merasa menjadi bagian dari
kelompok yang bersangkutan.
2) Pengawasan
sosial adalah “proses yang direncanakan atau yang tidak direncanakan yang
bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa masyarakat agar mematuhi
norma dan nilai.” Pengertian tersebut dipertegas menjadi suatu pengendalian
atau pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.[8]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Faktor
terjadinya kekerasan anak di sekolah berupa pengaruh lingkungan social, factor genetik,
pengaruh lingkungan sekolah, dan menyempitnya ruang ekspresi anak. Selain itu
juga terdapat pengaruh yang timbul dari pihak guru, siswa itu sendiri, pengaruh
dari keluarga dan pengaruh lingkungan.
2. Pemerintah menuangkan
peraturan perundang-undangan untuk melindungi hak-hak anak yang di dalamnya
mencakup hak-hak anak yang mengalami kekerasan, yakni dalam Undang-Undang No.22
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 77 sampai dengan Pasal 90 serta
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1367.
3.
Upaya-upaya
yang dilakukan oleh pihak terkait dalam menangani kekerasan anak di sekolah
digerakkan oleh guru, pihak sekolah, dan terhadap siswa yang dibantu dengan
control orang tua dan control dari masyarakat
[1]
UNICEF; 2002
[2]
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2009 hal 142
[3]
Departemen Character Building Universitas Bina Nusantara, 2007
[4] Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, 2007, Kekerasan Di
Sekolah, Jakarta
: Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Hal 32
[5]
ibid
[6] http://www.e-psikologi.com/epsi/pendidikan_detail.asp?id=499 diakses 27 Desember 2011 pukul
22.30 wib
[7] J.C Tukiman Taruna, 2007, Dalam Rika
Saraswati, Dkk, 2007. Safe School Dan
Kekerasan Berbasis Jender : Studi Eksploratif Di Sekolah Menengah Di Kota
Semarang, Laporan Penelitian, Tidak Dipublikasikan, Semarang : Pusat Studi
Wanita Unika Soegijapranata.
[8] Www.Blog.Ac.Id/Fenomena-Tawuran-Antar-Pelajar Diakses Pada Tanggal 4 Januari 2012
Pukul 15.00 Wib