BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan asas general principle suatu pemerintahan yang baik adalah pemerintahan
yang menjungjung tinggi norma kesusilaan, norma kepatuhan, dan norma hukum untuk
mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme.[1]
Asas umum penyelenggaraan pemeritahan ini telah merefleksikan adanya
interrelasi antara penanggulangan masalah korupsi dengan penciptaan
pemerintahan yang baik. Penanggulangan masalah korupsi ditujukan antara lain
untuk menciptakan pemerintahan yang baik yang salah satu tujuan dari
pemerintahan yang baik itu sendiri adalah menanggulangi masalah korupsi.
Pola terjadinya
korupsi dapat dibedakan dalam tiga wilayah besar yang merupakan bentuk
penyalahhgunaan wewenang yang berdampak kepada terjadinya korupsi, diantaranya
adalah :
a. Mercenery
abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang
mempunyai suatu kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan
cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi atau volume dan
penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah
biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi
kedudukannya.
b. Discretinery abuse of power, pada tipe
ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai
kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan
Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/keputusan Walikota/Bupati yang
biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis)
maupun dengan keluarganya (nepotis).
c. Idiological
abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan
kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan
kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di
birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi
dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang
licik. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini
semua elemen yang mendukung telah mendapatkan kompensasi.
Dalam Undang-Undang
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan
dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada
Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
Pusat dan Daerah.
Dalam rangka
menciptakan kesejahteraan masyarakat, Pemerintahan Daerah mengelola keuangan
dan kekayaan daerah. Diantaranya dengan melakukan upaya- upaya yang berhubungan
dengan penerimaan daerah, yang kemudian melakukan fungsi budgeting
untuk pembangunan, bantuan masyarakat dan kegiatan usaha daerah serta
investasi daerah. Terjadinya korupsi didaerah menghambat atau dapat menggagalkan
tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Apasajakah Faktor Penyebab Terjadinya
Korupsi Pada Pemerintahan Daerah?
2. Apasajakah
Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah?
3. Apasajakah
Strategi Penanggulangan Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk
Mengetahui Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.
2. Untuk
Mengetahui Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan
Daerah.
3. Untuk
Mengetahui Strategi Penanggulangan Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan
Daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor Penyebab Terjadinya
Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.
Banyak
pendapat melontarkan berbagai penyebab orang melakukan korupsi di Indonesia,
diantaranya :
1. Kurangnya
gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin
hari makin meningkat;
2. Ada
pula penulis yang menunjuk latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang
merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
3. Manajemen
yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien;
4. Penyebab
korupsi adalah modernisasi; Huntington memberikan jawaban[2] :
a. modernisasi
membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat;
b. modernisasi
juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumber-sumber
kekayaan dan kekuasaan baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan
politik tidak diatur oleh norma-norma tradisional yang terpenting dalam
masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh
golongan berpengaruh dalam masyarakat;
c. modernisasi
merangsang korupsi karena perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bidang
kegiatan sistem politik. Modernisasi terutama di Negara-negara yang memulai
modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipatgandakan
kegiatan-kegiatan yang diatur pemerintah oleh peraturan-peraturan pemerintah.
Sedangkan pada
lingkungan pemerintahan daerah faktor penyebab korupsi yang paling signifikan
adalah[3] :
1. Faktor
politik dan kekuasaan; korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para
pemegang kekuasaan eksekutif maupun legislatif yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya
untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok atau
golongannya. Data dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada, apabila
dibandingkan pada tahun 2009 ketika mereja yang terjerat kasus korupsi
didominasi oleh anggota DPRD, pada tahun 2010 dan sesudahnya kepala daerah dan
mantan kepala daerah ditempatkan pada posisi teratas sebagai pelaku korupsi.[4]modus
yang dilakukan pun sangat beragam, mulai dari perjalan dinas fiktif,
penggelembungan dana APBD maupun cara-cara lainnya yang bertujuan menguntungkan
diri sendiri maupun golongan;
2. Faktor
ekonomi ; faktor ini dinilai tidak terlalu signifikan juka dibandingkan dengan
faktor politik dan kekuasan karena cenderung masih konvensional yaitu tidak
seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup sehari-hari yang harus dipenuhi;
3. Nepotisme;
nepotisme yang cenderung masih kental terasa baik di sektor public maupun
swasta. Di lingkungan daerah dalam penempatan posisi yang strategis tidak
jarang menimbulkan penyalahgunaan kewenangan;
4. Faktor
pengawasan; lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
seperti BPKP maupun Bawasda terhadap penggunaan keuang negara oleh
pejabat-pejabat publik merupakan faktor yang penting yang menumbuhsuburkan
budaya korupsi di daerah-daerah. Ketidak efektifan pengawasan itu sendiri
sering diakibatkan sering terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara.
2.2
Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.
United Office On Drugs And Crime
(UNODC) yang merupakan kantor PBB untuk masalah obat-obatan terlarang dan
tindak kejahatan mengemukakan bahwa setidaknya ada empat kendala bagi upaya
pemberantasan korupsi di dunia termasuk di Indonesia dan pemerintahan daerahnya
diantara lain:
1. Kurangnya
dana yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi. Hal
ini mengindikasikan rendahnya upaya pemerintah untuk program pemberantasan
korupsi yang belum menjadikan prioritas utama kebijakan pemerintahan serta political will yang masih rendah dalam
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Kurangnya
bantuan yang diberikan negara-negara donor untuk program pemberantasan korupsi
yang menimbulkan padangan bahwa masih minimnya kepercayaan dari negara-negara
pendonor terhadap komitmen dan keseriusan pemerintah dalam melakukan
pemberantasan korupsi.
3. Kurangnya
pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam memberantas
korupsi.
4. Rendahnya
insentif dan gaji pejabat publik yang bisa mengancam profesionalisme,
kapabilitas dan independensi hakim maupun aparat-aparat penegak hukum lainnya
Disamping
faktor-faktor di atas keadaan di Indonesia menjadi tambah rumit karena
terjadinya perdebatan tiada henti tentang posisi dan kedudukan hukum dari
kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara. Perdebatan
yang dimaksud adalah adanya beberapa pihak yang berpendapat bahwa kebijakan
publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara dapat disentuh oleh hukum pidana
sehingga pejabat yang melakukan korupsi dapat dijerat oleh hukum pidana,
sedangkan beberapa pihak lain berpendapat bahwa hukum administrasi negara merupakan
satu-satunya perangkat hukum yang dapat menyentuh kebijakan-kebijakan publik
yang dilaksanakan oleh pejabat negara. Akan tetapi perdebatan ini cenderung
berlarut-larut tanpa adanya solusi yang efektif bagi upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia.
2.3
Strategi Penanggulangan Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.
Ada
dua pendekatan hukum yang dapat digunakan sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi yaitu
:
1. Pendekatan
preventive administrative; pendekatan
ini disalurkan melalui bekerjanya ketentuan-ketentuan hukum tata usaha negara;
2. Pendekatan
repressive judicial; pendekatan ini
disalurkan melalui bekerjanya ketentuan-ketentuan hukum pidana.
Hukum
pidana akan berfungsi sebagai penangkal tahap kedua setelah bekerjanya hukum
tata usaha negara. Ketentuan perundang-undangan yang ada dalam ruang lingkup
hukum tata usaha negara akan berfungsi mengatur dan mengarahkan mekanisme tata usaha negara agar
dapat mengurangi dan mencegah berbagai bentuk penyelewengan. Ketentuan hukum
pidana sendiri berfungsi sebagai tanggul aktif yang mengiringi bekerjanya hukum
tata usaha negara.[5]
Kedua hal tersebut harus berjalan secara overall,
integral dan simultan.
Secara
substansial Indonesia memiliki seperangkat peraturan perundang-undangan (legal substance) untuk memberantas
tindak pidana korupsi dan secara struktur juga memiliki banyak instansi (legal structure) yang seharusnya dapat
didayagunakan untuk memberantas korupsi. Indonesia dirasa kurang memiliki
budaya hukum (legal culture) yang
merupakan kata kunci untuk keluar dari persoalan korupsi yang terjadi yang
seolah-olah kalah dari kekuatan politik, uang dan sebagainya.
Indonesia
telah berupaya melakukan legal reform
untuk memberantas tindak pidana korupsi dengan membentuk perundang-undangan
baru yakni Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001.
Legal spirit dari kedua Undang-Undang ini korupsi digolongkan sebagai “extra ordinary crime” oleh karena itu
diperlukan pemberantasan dengan menggunakan “extra ordinary instrument”.[6]
Timbul
pemikiran bagaimana cara menumbuhkan kesadaran budaya hukum pada masyarakat.
Karena legal reform tidak dirasakan
manfaatnya tanpa adanya perhatian yang lebih terhadap budaya hukum. Tanpa adanya upaya merubah persepsi dan
perilaku mengenai korupsi maka upaya apapun tidak bisa mengatasi permasalah
ini. Strategi yang perlu dikembangkan
adalah membangkitkan motivasi masyarakat untuk berpartisipasi yang diharapkan
mampu memerangi korupsi. Dengan informasi yang diberikan masyarakat akan sangat
berharga. Masyarakat dapat melaksanakan fungsi sosial kontrolnya untuk
mengawasi jalannya proses penegakan hukum, sehingga dapat memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Ada
tiga tujuan strategis yang dapat dikembangkan untuk memberdayakan peran serta
masyarakat lokal, yaitu[7] :
1. Lembaga
pemerintah harus memberikan peluang bagi pengawasan masyarakat terhadap
kegiatan-kegiatan pemerintahan;
2. Menciptakan
dan mendukung banyak organisasi pengawasan dari masyarakat;
3. Menyelesaikan
kasus-kasus (kolusi, korupsi dan nepotisme) KKN di daerah.
Dari
masing-masing tujuan strategis tersebut, ada beberapa hasil yang dapat
diharapkan, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
1. Hasil
yang diharapkan dari tujuan strategis pertama:
a. Jangka
pendek : organisasi pengawasan oleh rakyat dibentuk, difungsikan dan diberikan
akses atau kekuasaan untuk mengawasi praktik-praktik kerja pemerintah seperti
pembuatan kebijakan public, pemantauan dan evaluasi dari kebijakan tersebut;
b. Jangka
menengah : organisasi pengawasan oleh rakyat berjalan dengan lancer dan akses
untuk melakukan pengawasan diakomodasikan di dalam sistem;
c. Jangka
panjang : organisasi pengawasan oleh rakyat berjalan dengan lancar.
2. Hasil
yang diharapkan dari tujuan strategis kedua:
a. Jangka
pendek : mengidentifikasi lembaga-lembaga yang paling korup, baik ditingkat
provinsi maupun kabupaten/kota dan menciptakan organisasi pengawas untuk
memonitor mereka;
b. Jangka
menengah : secara berkala mengumumkan hasil temuan organisasi pengawas dan
mengusulkan perbaikan system dan kinerja dalam institusi yang korup tersebut;
c. Jangka
panjang : organisasi pengawas menjadi bagian dari masyarakat madani di negeri.
3. Hasil
yang diharapkan dari tujuan strategis ketiga:
a. Jangka
pendek : gerakan anti korupsi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk
menekan pemerintah agar menyelesaikan kasus-kasus korupsi kian menguat;
b. Jangka
menengah : organisasi-organisasi anti korupsi yang kuat terbentuk di
daerah-daerah;
c. Jangka
panjang : warga Negara menerapkan sanksi sosial untuk menghukum para koruptor
untuk mendorong penegakan hukum.
Gerakan
anti korupsi sebagai sebuah sosial yang cukup strategis apabila dimulai dari
tingkat paling bawah, seperti gerakan daerah anti korupsi ditingkat kabupaten
dan kota yang pada akhirnya bermuara pada sebuah gerakan nasional anti korupsi.
Cikal bakal dari gerakan anti korupsi harus dimulai dari pembentukan
organisasi-organisasi anti korupsi di tingkat daerah, dengan ditopang oleh
kalangan akademisi dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang dapat diaktualisasikan
untuk memerangi korupsi.[8]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Adapun
faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi di pemerintahan daerah adalah faktor
politik dan kekuasaan dimana yang berkuasa cenderung menyalahgunakan
wewenangnya untuk mendapatkan keuntungan baik untuk dirinya sendiri maupun
golongan, faktor ekonomi dari segi pemenuhan kebutuhan sehari-hari, faktor
nepotisme yang mementingkan kepentingan golongan tertentu dan faktor pengawasan
terhadap pemerintah yang dirasakan masih lemah.
2. Masalah-masalah
yang timbul dalam pemberantasan korupsi di pemerintahan daerah yakni berupa
kurangnya dana yang diinventasikan pemerintah untuk memberantas korupsi,
kurangnya bantuan donasi dari pemerintah asing yang cenderung menimbulkan
pandangan bahwa kurangnya kepercayaan pemerintahan asing terhadap pemerintah
Indonesia. Selain itu juga kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat penegak
hukum dalam memberantas korupsi, serta rendahnya gaji pejabat yang dipandang
mampu mempengaruhi keprofesionalannya dalam melaksanakan tugas.
3. Ditetapkannya Undang-Undang no.31
tahun 1999 jo Undang-undang no.20 tahun 2001 merupakan legal reform pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.
adapun starategi pemerintah yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi
adalah dengan preventive administration
(upaya administrasi) sebagai penangkal awal dengan diberlakukannya ketentuan
hukum tata usaha Negara yana merupakan penangkal pertama dalam mengatasi
korupsi yang selanjutnya strategi yang dilakukan adalah repressive judicial sebagai tanggul aktif dalam mengatasi korupsi
dengan menerapkan ketentuan pidana dimana kedua strategi ini harus berjalan
secara integral dan simultan.
DAFTAR PUSTAKA
Andi
Hamzah, Pemberantasan Korupsi;Melalui
Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2005
Elwi
Danil, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana,
Dan Pemberantasannya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No.21 Tahun 2001
[1] Elwi Danil, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, Dan Pemberantasannya, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 175
[2] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi;Melalui Hukum Pidana
Nasional Dan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005 Hal 21
[3] http://makalahpaimin.blogspot.com
diakses pada tanggal 10 April 2012 pukul 20.35 wib
[4] http://www.suaramerdeka.com
diakses pada tanggal 10 April 2012 pukul 20.30 wib
[5] Elwi Danil, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, Dan Pemberantasannya, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 183
[6] Ibid hal 185
[7] Ibid hal 188-189
[8] Ibid, Hal 191