Pada tanggal 27 Februari 2012 Mahkamah Agung
telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 Tahun 2012 tentang
Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam
KUHP. Perma ini lahir karena banyak bermunculan aksi protes tentang rasa
keadilan yang dirasakan masyarakat selama ini seperti kasus pencurian nenek
Minah, pencurian sandal jepit, kakao, segenggam merica oleh seorang kakek,
pencurian kartu perdana 10.000 ribu oleh siswa smp dan sebagainya. Adapun Pasal-Pasal
dari Perma no.2 Tahun 2012 tersebut antara lain :
1)
Pasal 1,
dijelaskan bahwa kata-kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam Pasal
364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 atau dua
juta lima ratus ribu rupiah.
2) Pasal 2
ayat (1), dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan,
penadahan dari penuntut umum, ketua pengadilan wajib memperhatikan nilai barang
atau uang yang menjadi obyek perkara dan memperhatikan pasal 1 di atas
3)
Pasal 2
ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan, apabila nilai barang atau uang tersebut
bernilai tidak lebih dari Rp 2,5 Juta, Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim
Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara
Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP dan Ketua Pengadilan
tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan
4) Pasal 3
mengenai denda, dipersamakan dengan pasal mengenai penahanan pada Perma Nomor 2
Tahun 2012 yaitu dikalikan 10 ribu dari tiap-tiap denda misalnya, Rp 250
menjadi Rp 2,5 juta sehingga denda yang dibawah Rp 2,5 juta tidak perlu masuk
dalam upaya hukum kasasi.
5)
Pasal 4,
menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP yang dapat
dijatuhkan pidana denda, hakim wajib mmeperhatikan pasal 3 di atas
6)
Pasal 5,
peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku pada hari ditetapkan
Diterbitkannya Perma ini ditujukan untuk
menyelesaikan penafsiran tentang nilai uang pada Tipiring dalam KUHP. Perma ini diharapkan mampu memberikan kemudahan kepada
terdakwa yang terlibat dalam perkara tipiring agar tidak perlu menunggu
persidangan berlarut-larut sampai ke tahap kasasi seperti yang terjadi pada
kasus Nenek Rasminah. Perma ini juga diharapkan agar dapat menjadi jembatan
bagi para hakim sehingga mampu lebih cepat memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat terutama bagi penyelesaian Tipiring sesuai dengan bobot tindak
pidananya. Perma ini juga ditujukan untuk menghindari masuknya perkara-perkara
yang berpotensi mengganggu rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat dan
secara tidak langsung akan membantu sistem peradilan pidana untuk bekerja
lebih efektif dan efisien.
Akan tetapi diterbitkannya Perma ini juga
menimbulkan kontra dari berbagai pihak khususnya praktisi hukum. Dapat
ditafsirkan bahwa dalam ketentuan
Perma ini kasus pencurian di bawah dua juta lima ratus ribu rupiah, tidak bisa
ditahan dan kasus pencurian tersebut diselesaikan dalam waktu satu hari saja. Perma ini bisa menimbulkan penafsiran-penafsiran yang tidak
baik. Salah satu penafsiran itu diantaranya memicu orang-orang untuk melakukan
pencurian ringan, beramai-ramai mengambil milik orang lain yang nilainya di
bawah dua juta lima ratus ribu rupiah. Bagi remaja yang rentan berperilaku
menyimpang akan dengan mudah melakukan tipiring.
Ketentuan Perma ini dikhawatirkan dijadikan alat untuk
berlindung bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab, serta menjadi alat
tawar menawar penegak hukum di tingkat bawah khususnya, dengan mengatur batas
nominal nilai yang dicuri sehingga terbebas dari jeratan hukum. Kekhawatiran
dari Perma ini nantinya semakin memarakkan permainan jual beli hukum. Perma ini menimbulkan kesan terburu-buru, seharusnya
dilakukan pembahasan dengan pakar-pakar dan praktisi hukum sehingga ditemukan
cara penanggulangan yang tepat dan efektif untuk menangani kasus-kasus tipiring
tersebut.
Pasal
79 Undang-Undang No.14 tentang Mahkamah Agung jo Undang-Undang No.4 tentang Perubahan
Pertama Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo Undang-Undang
No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung beserta penjelasannya berbunyi :
“
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup
diatur dalam undang-undang ini.”
Pada penjelasan UU di atas dinyatakan bahwa
apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum
dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang
membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan
tadi. Dengan Undang-Undang ini Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan
sebagai pelengkap untuk mengisi kekosongan atau kekurangan tadi. Dengan Undang-Undang
ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian
suatu soal yang belum ada atau tidak diatur dalam undang-undang ini.
Pada
pertimbangan Perma ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengubah KUHP,
melainkan hanya melakukan penyesuaian nilai uang yang sudah tidak sesuai dengan
kondisi sekarang ini. Namun diliat dari butiran Pasal-Pasal dalam Perma ini
secara tidak langsung merubah ketentuan dalam KUHP dan seakan menjadi lex spesialis dari KUHP yang mengatur
tentang hukum pidana materil bukan ranah hukum pidana formil, karena ketentuan
materilnya dirubah maka secara otomatis penegakan hukum formilnya akan
menyesuaikan. Tentunya hal ini menimbulkan kerancuan dan tidak sejalan dengan
pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung.
Tahap formulasi dari Perma ini bertolak dari
pemikiran-pemikiran berdasarkan perilaku masyarakat yang menuntut keadilan bagi
terdakwa tipiring, namun kekhawatiran penafsiran-penafsiran yang keliru yang
timbul kemudian harus dikaji kembali melalui tahap aplikasi, apakah
penerapannya telah mencapai tujuan hukum
itu sendiri.
...saya setuju PERMA itu harus dikaji lagi ..agar supaya para penegak hukum tidak bingung untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum terhadap masyarakat, harus direvisi KUHP dan KUHAP secepatnya supaya jelas dan tegas
BalasHapussaya termasuk yang dibuat bingung dan terkadang sebagai penegak hukum paling depan(polisi) dihadapkan pada situasiyang dilematis dan sering bersitegang denagn rekan sendiri dalam melakukan proses hukum yang kerugian materiilnya dibawah Rp 2.500.000,-(dua juta lima ratus ribu rupiah)
BalasHapusSebaiknya Perma ini direvisi kembali dan dirincikan secara deteil,byk yg salah tafsir. Tetangga saya mempunyai kios kecil dibongkar oleh remaja OKP utk kebutuhan narkoba,dan mereka mencuri barang2 dagangan, dan telah melapor ke pihak polisi dgn bukti rekaman CCTV tetangga depan. Oleh polisi ditunjukkan dari internet tentang PERMA dari MA kpd pelapor bhw nilai yg dicuri kurang dari 2.5 juta tdk bisa ditahan, tentu teman saya sgt kecewa sebagai pedagang kecil yg menafkahi keluarga dari usaha kios, oleh teman saya karena tidak mempunyai uang maka pasrah krn kasus ini bisa dinegoisasi dgn menaikkan nilai kerugian materi menjadi 3.5 jt sehingga bisa menahan sipencuri. utk diketahui pencurian ini demi membeli narkoba jenis sabu,kalau tdk ada tindakan maka pemakai sabu-sabu akan meraja rela mencuri demi narkoba.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusJadi apakah dgn brlakunya perma ini, tidak mmberikan denda? Sesuai perma hanya menaikkan nominal uang saja kan,meski pemeriksaan nya hanya 1 hari saja oleh hakim tunggal bukan brarti terdakwa tdk d kenai pidana denda. Jdi apabila terjadi pencurian d bawah 2,5 jta. Brarti dia tdk dpat ditahan atau diajukan kasasi tapi di denda. Bukankah begitu? Mohon penjelasannya.
BalasHapusperma no.2 th 2012 tsb menjustifikasi rasa keadilan dgn melakukan "konversi"nilai rupiah di th 1960 dgn th 2012 berdasarkan nilai harga emas per gram nya, saya rasa hal ini malah "menjauhkan" nilai keadilan itu sendiri dari hukum! ketika MA mencoba menggeser "nilai suatu barang" tsb menggunakan "konversi emas". bagi seorang jutawan, sy setuju jika HP merk cina dgn harga dibawah 1jt misalnya tentunya nilainya "sangat kecil" bagi sang jutawan, tapi bagi seseorang dr golongan menengah kebawah HP tsb tentunya menjadi "sangat bernilai", sehingga sangatlah tidak adil jika hp tsb kmd dicuri,kmd pemilik hp tsb melaporkan kejadian pencurian tsb ke polisi dan ternyata tidak mendapatkan vonis yang setimpal....jadi mnrt hemat saya, seharusnya MA tidak melakukan "konversi"nilai kerugiannya dlm menjustifikasi rasa keadilan, akan tetapi akan lebih terasa adil jika MA melakukan pembatasan jumlah maksimal hukumannya, misalnya utk kejahatan dgn nilai kerugian dibawah 2,5jt hukuman maksimalnya 2bln penjara atau membatasi masa penahanan dalam setiap tahapan proses peradilan, jika polisi berwenang menahan 20hr,jaksa 20hari maka untuk kejahatan dgn kerugian dibawah 2,5jt tsb dibatasi hanya 10hari saja dst....
BalasHapustajam keatas tumpul kebawah... harusnya adil keatas dan kebawah... pendapat saya "tidak adil"
BalasHapuskalau kasusya percobaan perampokan namun kerugian di bawah 2.500.000 bagimana ?
BalasHapusMemang perlu direvisi ulang kembali Perma secepatny yang berkaitan dengan Undang-undang KUHP, yg kita tindak bkn Krn kerugian materiilnya melainkan tindakan apa yang diperbuat oleh pelaku terhdp korban.terima kasih
BalasHapusJika pelaku memang melakukan pencurian contoh di toko/ mall berupa barang dgn nilai kurang dari 2,5 juta. Kasus di laporkan ke polisi. Namun kebanyakan pelaku adalah sindikat pencurian yg telah berulang kali..itu gimana..sehinggal tidak ada efek jera..para si.dikat mall memanfaatkan putusan MA jadinya. Jika tertangkap kawanan nya menebus..pelaku. Kadang jadi kurang bagus juga ini harus di refisi..dong. Buat efek jeranya tidak ada..bedanya jika mencuri dan tertangkap dibayar dikantor polisi..dgn nilai sama dgn kerugian barang yg dicuri atau yg parahnya mungkin barang bukti dikembalikan kpd pemilik, rugi dong..barang sdh dicuri rusak pula..aduh...mohon ditinjau ulang.
BalasHapus