PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu hukuman mati selalu menjadi debat yang
kontroversial. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di
tingkatan masyarakat, maupun para pengambil kebijakan. Kontroversi hukuman mati
juga banyak terjadi baik itu di panggung internasional maupun nasional. Di
tengah kisruh global tentang hukuman mati, di Indonesia justru praktek ini
makin lazim diterapkan. Indonesia merupakan salah satu Negara yang masih
mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk
menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati
sudah lama terjadi di negeri ini.
Di Indonesia kontroversi ini juga memanas ketika
eksekusi Tibo Cs. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu
dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama
kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat
kontroversial mengingat proses peradilan terhadap mereka yang bertentangan
dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menjadi pintu masuk
kepada 16 tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka, reaksi publik
yang begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga hasil pasca
eksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan.[1]
Timbulnya kontrofersi mengenai pidana mati juga
diperdebatkan akibat adanya Amandemen Kedua Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu,
sifatnya yang merupakan Hak Asasi Manusia
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Yang membawa implikasi hukum
mendasar bahwa konstitusi tidak lagi mengizinkan pidana mati karena sesuai
dengan asas lex superiori deragat lex inferiori Undang-Undang yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Perundang-Undangan yang lebih tinggi. Sehingga semua produk hukum
yang masih mencantumkan pidana mati sebagai ancaman pidana harus diubah atau
dibenahi.
Pidana
mati diberikan dalam rangka untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap
tidak bisa kembali ke masyarakat karena kejahatan yang mereka lakukan termasuk
dalam kualifikasi serious crimes. Bermacam-macam cara pemidanaan ataupun ancaman hukuman
yang dalam hal ini hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan hukum. Pidana
mati merupakan salah satu jenis cara penegakan hukum pidana yang paling
kontroversial didunia.
Bahkan
keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan
datang karena dalam Rancangan Konsep KUHP (Baru), pidana mati masih
merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku
kejahatan. Pengaturan pidana mati dalam Rancangan Konsep KUHP (RKKUHP) diatur
dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 89.
Rancangan Konsep KUHP menganut sistem pemidanaan dua
jalur (double track system) dimana di samping pelaku tindak pidana dapat
dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment), dapat juga dikenakan
berbagai tindakan (treatment). Selain itu, dalam jenis-jenis pemidanaan
dalam RKUHP ini juga bertambah dengan adanya pidana pengawasan dan pidana kerja
sosial yang merupakan bagian dari pidana pokok, jenis tindak pidana yang
sebelumnya belum pernah dikenal dalam KUHP Indonesia.
Namun di tengah beberapa perubahan yang mendasar
tersebut, ternyata dalam RKUHP masih mengatur beberapa ketentuan yang selama
ini menjadi kontroversi, misalnya ketentuan tentang hukuman mati. Di samping
itu, RKUHP juga memasukkan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pemidanaan
(denda) adat yang mempunyai rumusan tidak rinci dan sangat tergantung pada
putusan hakim. RKUHP sejak awal terlihat tidak cukup konsisten dalam menentukan
tujuan pemidanaan dan penetapan sanksi-sanksinya.
Penyusunan Rancangan Konsep KUHP bukanlah sekedar melakukan
revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang,
melainkan dimaksudkan untuk merombak secara total Kitab Undang-undang Hukum
Pidana peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut. Perombakan total
bertujuan agar Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru diharapkan lebih
mampu menyerap aspirasi dan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat
kita saat ini.
Untuk itu dalam merumuskan digunakan beberapa sumber hukum yaitu
Hukum Adat yang berkembang di masyarakat, Hukum Islam serta sumber Hukum yang berasal
dari warisan hukum Belanda yang sudah diterima masyarakat dan konvensi
Internasional yang masih berlaku.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah
Pengertian Pemidanaan Tujuan pemidanaan dan teori Pemidanaan?
2. Bagaimanakah
Pidana Mati Dalam Hukum Adat Dan Hukum Islam Serta Pengaturannya Dalam KUHP?
3. Bagaimanakah
Pengaturan Pidana Mati Dalam Rancangan Konsep KUHP?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan pemidanaan, tujuan pemidanaan dan teori
pemidanaan.
2. Untuk
Mengetahui Pidana Mati Dalah Hukum Adat Dan Hukum Islam Serta Pengaturannya
Dalam KUHP.
3. Untuk
mengetahui pengaturan pidana mati dalam konsep rancangan KUHP.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Pemidanaan Tujuan pemidanaan
dan teori Pemidanaan
Dalam
hukum pidana objektif berisi tentang berbagai macam perbuatan yang dilarang,
terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana kepada
barangsiapa yang melakukannya. Sanksi pidana yang telah ditetapkan dalam
undang-undang kemudian oleh Negara dijatuhkan dan dijalankan kepada pelaku
perbuatan.[2]
Stelsel
pidana adalah bagian dari hukum penitensir yang berisi tentang jenis pidana,
batas-batas penjatuhan pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan dimana
menjalankannya, begitu juga mengenai pengurangan, penambahan dan pengecualian
penjatuhan pidana.[3]
Selain itu hukum penitensir juga berisi
tentang system tindakan dalam usaha mempertahankan dan menyelenggarakan
ketertiban, menlindunginya dari perkosaan-perkosaan terhadap berbagai
kepentingan hukum, secara represif disamping diberi hak dan kekuasaan untuk
menjatuhkan pidana, Negara juga diberi hak untuk menjatuhkan tindakan.
Pada
dasarnya pidana dan tindakan adalah sama yaitu berupa penderitaan. Perbedaannya
terletak kepada tindakan lebih kecil atau ringan daripada penderitaan yang
diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Pidana berasal dari kata straf (Belanda)
yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman.[4]
Istilah
hukuman mengandung pengertian umum sebagai sanksi yang dengan sengaja
ditimpakan kepada seseorang yang telah melalukan pelanggaran hukum, baik hukum
pidana maupun hukum perdata. Sedangkan istilah pidana merupakan suatu
pengertian yang khusus yang berkaitan dengan hukum pidana yang berarti apabila
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum pidana, maka pelaku
dapat dikenakan sanksi berupa pidana. Demikian halnya penyebutan sanksi dalam
perkara pidana disebut dengan pemidanaan dan bukan penghukuman.[5]
Pemidanaan
dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan konkritisasi
atau realisasi dari ketentuan pidana dalam undang-undang yang merupakan sesuatu
yang abstrak. Pemidanaan adalah hal yang berkenaan dengan pidana seperti
tujuan, atau maksud dijatuhkannya pidana.(KUHAP, 199:1)
Menurut
Prof. Muladi unsur-unsur yang terkandung dalam suatu pidana adalah :
1. Pidana
itu pada hakikatnya merupakan sesuatu pengenaan atau penderitaan atau nestapa
atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Pidana
itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan
(oleh orang yang berwenang);
3. Pidana
itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
Undang-Undang.
Pada
hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh
karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan
karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir yaitu[6]:
1. kelakuan
dan akibat (perbuatan);
2. hal
ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yaitu mengenai diri
orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pembuat;
3. karena
adanya unsur tambahan atau disebut juga dengan unsur-unsur yang memberatkan
pidana;
4. unsur
melawan hukum yang objektif;
5. unsur
melawan hukum subjektif.
Teori
mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam pengembangan ilmu karena
teori dapat memberikan kegunaan atau kemanfaatan, baik bagi pengembangan ilmu
pengetahuan maupun untuk hal-hal yang bersifat praktis. Soerjono Soekanto mengemukakan
lima kegunaan teori, yaitu :
1. Suatu
teori atau beberapa teori merupakan ikhtisar hal-hal yang telah diketahui serta
diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang dipelajari sosiologi.
2. Teori
memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada seseorang yang
memperdalam pengetahuannya di bidang sosiologi
3. Teori
berguna untuk lebih mempertajam atau mengkhususkan fakta yang dipelajari oleh
sosiologi.
4. Suatu
teori akan sangat berguna dalam mengembangkan system klasifikasi fakta, membina
stuktur konsep-konsep, serta mengembangkan definisi-definisi yang penting untuk
penelitian.
5. Pengetahuan
teoritis memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan proyeksi sosial,
yaitu usaha untuk dapat mengetahui kearah mana masyarakat akan berkembang atas
dasar fakta yang diketahui pada masa yang lampau dan masa sekarang ini.[7]
Pemidanaan
adalah penjatuhan hukuman kepada pelaku yang telah melakukan perbuatan pidana.
Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan
kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu.[8]
Istilah
teori pemidanaan berasal dari Inggris, yaitu comdemnation theory. Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada
pelaku yang telah melakukan perbuatan pidana. Pihak yang mempunyai wewenang
menjatuhkan sanksi pidana itu adalah Negara. Negara sebagai sebuah organisasi
dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasan tertinggi yang sah dan ditaati oleh
rakyat.
Teori
pemidanaan merupakan teori-teori yang mengkaji dan menganalisis mengapa Negara
menjatuhkan pidana kepada pelaku yang telah melakukan kejahatan, apakah karena adanya
unsur pembalasan atau menakuti masyarakat, dan atau melindungi atau memperbaiki
masyarakat.
Para
ahli seperti Algra, L.J van Apeldoorn dan muladi mempunyai pendapat
masing-masing mengenao jenis teori pemidanaan ini yang apabila kesemua pendapat
mereka disentesiskan maka jenis teori pemidanaan tersebut terdiri dari :
1. Teori
Mutlak (Absolute Theorie) atau teori
pembalasan
Menurut algra dan kawan-kawan berpendapat negara
harus mengadakan hukuman terhadap para pelaku karena orang telah berbuat dosa (quia pactratum). L.J van Apeldoorn
berpendapat teori absolute adalah teori yang membenarkan adanya hukuman hanya
semata-mata atas dasar delik yang dilakukan. Hanya dijatuhkan hukuman “quia
pecattum est” artinya karena orang membuat kejahatan. Tujuan hukum terletak
pada hukuman itu sendiri. Hukuman merupakan akibat mutlak dari sesuatu delik,
balasan dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Muladi berpendapat teori
absolute memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang
telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada
terjadinya kejahatan itu sendiri.
Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum
pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang telah melakukan sesuatu
kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan
tuntutan keadilan.
Dari
pendapat ketiga ahli di atas dapat ditarik perbedaan dan persamaan mengenai
teori absolut ini. Perbedaannya antara lain :
1) Algra
dan kawan-kawan menitikberatkan analisisnya tentang teori absolute pada orang
yang telah berbuat dosa (quia pacratum);
2) L.J
van Apeldoorn menitikberatkan analisisnya tentang teori absolute bahwa hukuman
dijatuhkan semata-mata karena adanya orang yang membuat kejahatan;
3) Muladi
menitikberatkan analisisnya tentang teori absolute pembalasan.
Persamaan ketiga pandangan teori absolute ini adalah
sama-sama menjatuhkan pidana kepada para pelaku yang melakukan kejahatan. Vos
membagi teori absolute ini atas dua macam yaitu :
1) Pembalasan
subjektif yaitu pembalasan terhadap kesalahan pelaku;
2) Pembalasan
objektif yaitu pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di
dunia luar.
Leo Polak mengemukakan ada tiga syarat dalam penjatuhan pidana, yang meliputi:
Leo Polak mengemukakan ada tiga syarat dalam penjatuhan pidana, yang meliputi:
1) Perbuatan
yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif;
2) Pidana
hanya boleh memerhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh
dijatuhkan untuk maksud prevensi;
3) Sudah
tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Ini perlu supaya
penjahat tidak dipidana secara tidak adil.
2. Teori
Relatif
Teori relatif berpendapat sebagai berikut, “Negara
menjatuhkan hukuman kepada penjahat sebagai alat untuk mencapai tujuannya.
Tujuan hukum itu adalah menakut-nakuti seseorang dari melaksanakan perbuatan
jahat”. Teori
relatif ini dibagi menjadi dua ajaran yaitu :
1) Teori
yang menakut-nakuti
Tujuan hukuman adalah
menakut-nakuti perbuatan kejahatan, baik yang menakut-nakuti anggota masyarakat
maupun yang menakut-nakuti pelaku sendiri yaitu untuk mencegah perbuatan
ulangan.
2) Teori
memperbaiki penjahat
Tujuan hukuman adalah dalam usaha
memperbaiki penjahat. Hukuman harus mendidik penjahat menjadi orang-orang yang
baik dalam pergaulan hidup.
Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus, Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai, kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya.
Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus, Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai, kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya.
3. Teori
gabungan
Teori gabungan adalah teori yang menggabungkan
antara teori absolute dan teori relative. Teori gabungan berpendapat bahwa “biasanya
hukuman memerlukan suatu pembenaran ganda. Pemerintah mempunyai hak untuk
menghukum, apabila orang berbuat kejahatan (apabila seseorang melakukan tingkah
laku yang pantas dihukum) dan apabila dengan itu kelihatannya akan dapat mencapai
tujuan yang bermanfaat. Hak pemerintah menghukum penjahat yang melakukan
kejahatan.
Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan
mempertahankan ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai
sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan
pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan tersebut. Atas
dasar itu kemudian baru dapat diterapkan cara, sarana atau tindakan apa yang
akan digunakan.[9]
Teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa
pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan
ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan
pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua
unsur yang ada.
4. Teori
Retributive Teleologis
Teori ini dikemukakan oleh muladi yang mempunyai
pandangan sebagai berikut “tujuan pemidanaan bersifat plural karena
menggabungkan antara prinsip-prinsip teologis (tujuan) dan retributive sebagai
satu kesatuan”. Teori ini bercorak ganda dimana karakter retributive sejauh
pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang
salah. Sementara karakter teologisnya terletak pad aide bahwa tujuan kritik
moral tersebut adalah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana
dikemudian hari.
Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan
untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan
beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana
pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran
yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat
integratif, perangkat tujuan pemidanaan adalah :
a) Pencegahan
b) Umum
dan khusus
c) Memelihara
solidaritas masyarakat
d) Pengimbalan/pengimbangan
5. Teori
Kesalahan Korban
Dalam hal mempertanggungjawabkan pidana, korban
mempunyai tanggung jawab fungsional, yakni secara aktif menghindar untuk
menjadi korban dan tidak memprovokasi serta memberikan kontribusi terhadap
terjadinya tindak pidana.
Model
penjatuhan pidana harus mempertimbangkan aspek korban dan pelaku secara adil
agar mendukung putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan, seperti :
a) Untuk
penjatuhan pidana harus memenuhi syarat pemidanaan yang meliputi unsur
perbuatan dan orang
b) Apabila
kedua syarat tersebut telah terpenuhi maka dapat dilakukan pemidanaan terhadap
pelaku tindak pidana, namun sebelum pejatuhan pidana, terdapat aspek-aspek yang
harus dipertimbangkan di luar syarat pemidanaan yaitu aspek korban dan aspek
pelaku.
c) Semua
syarat tersebut di atas terpenuhi, maka pemidanaan dpat diputuskan. Jenis dan
lamanya pidana yang dijatuhkan dikorelasikan dengan terpenuhinya syarat-syarat
pemidanaan serta aspek korban dan pelaku.
Tujuan pemidanaan menurut konsep Rancangan KUHP
1991/1992 dinyatakan
dalam
pasal 51, adalah sebagai berikut :
1. Mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat.
2. Memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang
baik dan berguna.
3. Menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan
rasa bersalah pada terpidana.
Menurut Muladi dalam perangkat tujuan pemidanaan
tersebut harus tercakup dua hal, yaitu pertama harus sedikit banyak menampung
aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar
tingkat kesalahan si pelaku dan yang kedua harus tercakup tujuan pemidanaan
berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk
memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat.
2.2
Pidana Mati Dalam Hukum adat dan hukum
Islam serta pengaturannya dalam KUHP
Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di
Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara
melaksanakan pidana mati juga bermacam- macam; ditusuk dengan keris,
ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan
palu dan lain-lain. Di Aceh seorang istri yang berzinah akan dibunuh. Di Batak,
jika pembunuh tidak membayar maka keluarga dari yang terbunuh menyerahkan diri
untuk dipidana mati, maka pidana mati segera dilaksanakan. Demikian pula bila
seseorang melanggar perintah perkawinan yang eksogami.
Di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari
Datuk Ketemanggungan dikenal hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan
darahnya. Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah
penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan kepada orang Cirebon
dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Bali pidana mati juga diancamkan bagi pelaku kawin
sumban. Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu
dipidana mati dengan cara ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan
terhadap pemerintah jika yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya,
maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang.
Di Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya yaitu
seorang wanita yang berhubungan dengan seorang pria batua yaitu budak,
maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di Kepulauan Aru orang yang membawa senjata
mukah, kalau ia tak dapat membayar denda ia dipidana mati. Di Pulau Bonerate,
pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu
diikat kaki dan tangannya kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati.
Di Nias bila dalam tempo tiga hari belum memberikan
uang sebagai harga darah pada keluarga korban, diterapkan pidana mati. Di pulau
Timor, tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau
dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di Lampung terdapat
beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah
putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan
menantu dan sebagainya) dan berzinah dengan istri orang lain.
Ancaman pidana mati juga dikenal dalam hukum Islam
yang dikenal dengan nama Qishash. Pandangan Islam terhadap pidana mati
tercantum dalam Surat AI-Baqarah ayat 178 dan 179, yang terjemahannya sebagai
berikut.
a) Ayat
178: "Hai orang- orang yang beriman, diwajibkan atasmu Qishash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
sahaya dengan hamba sahaya, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudara terbunuh, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
diyah kepada pihak yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah satu keringanan hukuman yang telah diisyarakatkan Tuhanmu,
sementara untukmu adalah menjadi rahmat pula. Siapa yang melanggar sesudah itu
akan memperoleh siksa yang pedih."
b) Ayat
179 : “ Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan) kelangsungan hidup, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa".
Qishash dalam hukum Islam adalah hukuman bunuh yang
harus dilaksanakan
terhadap
diri seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Tapi hukum ini tak harus
dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang
terbunuh memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar suatu diyah.
Diyah adalah hukuman denda yang disetujui oleh kedua belah pihak atau yang
ditentukan oleh hakim, apabila ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh
dari hukuman Qishash.
Dalam
KUHP yang berlaku sekarang ini, Indonesia manganut teori pemidanaan gabungan
dimana teori ini merupakan gabungan dari teori absolut (teori pembalasan) dan
teori relatif (teori tujuan). Sanksi yang dijatuhkan mengandung unsur
pembalasan bagi pelaku kejahatan dan peringatan juga kepada orang lain untuk
tidak melakukan kejahatan.
Roeslan
Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP
Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa
kejahatan yang berat-berat saja yaitu :
1. Pasal104
(makar terhadap presiden dan wakil presiden);
2. Pasal
111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan
itu dilakukan atau jadi perang);
3. Pasal
124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang);
4. Pasal
140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan
dan berakibat maut);
5. Pasal
340 (pembunuhan berencana);
6. Pasal
365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati);
7. Pasal
368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka beratatau mati);
8. Pasal
444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).
Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan
pidana mati bagi pelanggarnya. Peraturan-peraturan itu antara lain:
1. Pasal
2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa,
Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana
yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan;
2. Pasal
2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman
terhadap tindak pidana ekonomi;
3. Pasal
1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi
atau sesuatu bahan peledak;
4. Pasal
13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan
subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok
tenaga atom;
5. Pasal
36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika;
6. Undang-Undang
No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap
sarana/prasarana penerbangan.
Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius
lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam
dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis
hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Untuk itu banyak
suara-suara yang menentang masih berlakunya hukuman pidana mati di Indonesia.
2.3 Pidana Mati Dalam Rancangan
Konsep KUHP
Selama
ini belum ada rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum positif Indonesia. Sebagai alibat tidak adanya rumusan
pemidanaan ini menyebabkan banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana
yang tidak konsisten dan tumpang tindih.[10] Rancangan
KUHP baru mengalami beberapa perubahan yang beberapa konsepnya mengalami
perubahan yang cukup mendasar dari waktu ke waktu, dimana hal ini menunjukkan
bahwa pemberian sanksi dalam rancangan KUHP baru disesuaikan dengan
perkembangan kondisi di Indonesia.
Konsep
rancangan KUHP baru disusun dengan bertolak pada tiga materi/substansi/masalah pokok pidana,
yaitu :
1. Masalah
tindak pidana
2. Masalah
kesalahan/pertanggungjawaban pidana
3. Masalah
pidana dan pemidanaan[11]
Barda Nawawi Arief, menyatakan
bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan
adalah :
a) Pada
hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga
dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya
hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan;
b) Dilihat
secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan
kebijakan yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap.
Agar
ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem
pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan;
c) Perumusan
tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai ”fungsi pengendalian kontrol” dan
sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi
pemidanaan yang jelas dan terarah.
Di samping membuat
rumusan tentang tujuan pemidanaan, konsep rancangan KUHP juga merumuskan
bermacam-macam pedoman pemidanaan, yaitu :
a) Ada
pedoman yang bersifat umum untuk memberikan pengarahan kepada hakim mengenai
hal-hal apa yang sepatutnya dipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana;
b) Ada
pedoman yang bersifat khusus untuk memberikan pengarahan kepada hakim dalam memilih atau menjatuhkan
jenis-jenis pidana tertentu;
c) Ada
pedoman bagi hakim dalam menerapkan sistem perumusan ancaman pidana yang
digunakan dalam perumusan delik.
Tujuan
pemidanaan yang dirumuskan dalam konsep rancangan KUHP baru yaitu bertolak dari
keseimbangan antara dua sasaran pokok, yaitu perlindungan mansyarakat dan
perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana.[12]
Adapun tujuan pemidanaanya terdapat dalam pasal 50 konsep rancangan KUHP baru
yaitu:
1. Pemidanaan
bertujuan :
a. Mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
b. Memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
c. Menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. Membebaskan
rasa bersalah pada terpidana.
2. Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Bertolak
dari kedua sasaran pokok tersebut, maka syarat pemidanaan menurut Konsep juga
bertolak dari pemikiran keseimbangan “mono dualistic” yaitu antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan individu;antara faktor objektif dan faktor
subjektif.[13]
Dari pokok pemikiran yang lebih menitikberatkan pada perlindungan kepentingan
masyarakat, maka wajar apabila Konsep masih mempertahankan sanksi pidana berat,
yaitu pidana mati dan pidana penjara seumur hidup.
Namun
pidana mati tidak termasuk ke dalam deretan pidana pokok melainkan termasuk
pidana khusus atau eksepsional yang bersifat selektif, hati-hati dan
berorintasi pada kepentingan individu. Oleh karena itu, dalam Konsep ketentuan
mengenai penundaan pelaksanaan pidana mati atau pidana mati bersyarat dengan
masa percobaan selama 10 tahun (pasal 82 Konsep KUHP).
Jenis sanksi yang digunakan dalam konsep KUHP
terdiri dari jenis pidana dan tindakan. Masing-masing jenis sanksi ini terdiri
dari :
A. Pidana
a. Pidana
pokok
1. Pidana
penjara
2. Pidana
tutupan
3. Pidana
pengawasan
4. Pidana
denda
5. Pidana
kerja sosial
b. Pidana
tambahan
1. Pencabutan
hak-hak tertentu
2. Perampasan
barang-barang tertentu dan tagihan
3. Pengumuman
putusan hakim
4. Pembayaran
ganti kerugian
5. Pemenuhan
kewajiban adat
c. Pidana
khusus : Pidana mati
B. Tindakan
a. Untuk
orang yang tidak atau kurang mampu bertanggungjawab (tindakan dijatuhkan tanpa
pidana)
-
Perawatan di rumah sakit
-
Penyerahan kepada pemerintah
-
Penyerahan kepada seseorang
b. Untuk
orang pada umumnya yang mampu bertanggungjawab (dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana)
-
Pencabutan surat izin mengemudi
-
Perampasan keuntungan yang diperoleh
dari tindak pidana
-
Perbaikan akibat-akibat tindak pidana
-
Latihan kerja
-
Rehabilitasi
-
Perawatan di dalam suatu lembaga
Pola jenis sanksi berhubungan dengan pola pembagian
jenis tindak pidana yang secara kasar polanya dapat digambarkan dalam skema
berikut[14] :
BOBOT DELIK
|
JENIS PIDANA
|
KETERANGAN
|
1. Sangat
Ringan
|
Denda
|
-
Perumusan tunggal
- Denda
ringan(kategori I atau II)
|
2. Berat
|
Penjara
dan Denda
|
- Perumusan
alternatif
- Penjara
berkisar 1 s.d 7 tahun
- Denda
lebih berat (kategori III-IV)
|
3.
Sangat Serius
|
- Penjara
saja
- Mati/penjara
|
- Perumusan
tunggal
- Dapat
dikumulasikan dengan denda
|
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pemidanaan
dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan
konkritisasi atau realisasi dari ketentuan pidana dalam undang-undang yang
merupakan sesuatu yang abstrak. Pemidanaan adalah hal yang berkenaan dengan
pidana seperti tujuan, atau maksud dijatuhkannya pidana. Teori pemidanaan merupakan teori-teori yang mengkaji dan
menganalisis mengapa Negara menjatuhkan pidana kepada pelaku yang telah
melakukan kejahatan, apakah karena adanya unsur pembalasan atau menakuti
masyarakat, dan atau melindungi atau memperbaiki masyarakat.
Pidana
mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik
yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Suku-suku bangsa Indonesa telah mengenal
pidana mati jauh sebelum bangsa Belanda datang. Ancaman pidana mati juga
dikenal dalam hukum Islam yang dikenal dengan nama Qishash.
Dalam
KUHP yang berlaku sekarang ini, Indonesia manganut teori pemidanaan gabungan
dimana teori ini merupakan gabungan dari teori absolut (teori pembalasan) dan
teori relatif (teori tujuan). Sanksi yang dijatuhkan mengandung unsur
pembalasan bagi pelaku kejahatan dan peringatan juga kepada orang lain untuk
tidak melakukan kejahatan. KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya
pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja.
Pidana
mati masih dipertahankan dalam Konsep Rancangan KUHP di Indonesia akan tetapi
keberadaan tidak lagi merupakan pidana pokok melainkan termasuk ke dalam pidana
khusus yang bersifat alternatif.
[1]
Laporan
HAM 2005 Kontras, Penegakkan Hukum dan HAM Masih Gelap, Kontras, Jakarta, 2006
[2]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Stelsel Pidana,
Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002 hal 151
[3]
Ibid hal 23
[4] Ibid hal 24
[5] Elwi Danil, Nelwitis, Hukum Penitensir, Universitas Andalas,
Padang, 2002 hal 12
[6] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002 hal 63
[7] Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta 2010 Hal 18
[8] Ibid Hal 149
[9] Elwi Danil, Hukum Penintensir, Universitas Andalas, Padang, 2002 hal 34
[10] M. Solehuddin, Sistem Sanksi
dalam Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 131
[11]
Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
hal 74
[12] Elwi Danil, Hukum Penintensir, Universitas Andalas, Padang, 2002 hal 61
[13] Ibid hal 37
[14]
Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008
hal 153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar