Rabu, 26 September 2012

KORUPSI DALAM PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENANGGULANGANNYA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

 Berdasarkan asas general principle suatu pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang menjungjung tinggi norma kesusilaan, norma kepatuhan, dan norma hukum untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.[1] Asas umum penyelenggaraan pemeritahan ini telah merefleksikan adanya interrelasi antara penanggulangan masalah korupsi dengan penciptaan pemerintahan yang baik. Penanggulangan masalah korupsi ditujukan antara lain untuk menciptakan pemerintahan yang baik yang salah satu tujuan dari pemerintahan yang baik itu sendiri adalah menanggulangi masalah korupsi.

Pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam tiga wilayah besar yang merupakan bentuk penyalahhgunaan wewenang yang berdampak kepada terjadinya korupsi, diantaranya adalah :
a.  Mercenery abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.
b.  Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/keputusan Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya (nepotis).
c.  Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung telah mendapatkan kompensasi.

Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah.

Dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat, Pemerintahan Daerah mengelola keuangan dan kekayaan daerah. Diantaranya dengan melakukan upaya- upaya yang berhubungan dengan penerimaan daerah, yang kemudian melakukan fungsi  budgeting  untuk pembangunan, bantuan masyarakat dan kegiatan usaha daerah serta investasi daerah. Terjadinya korupsi didaerah menghambat atau dapat menggagalkan tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat.

1.2  Rumusan Masalah
Apasajakah Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi Pada Pemerintahan Daerah?
2. Apasajakah Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah?
3.   Apasajakah Strategi Penanggulangan Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah?

1.3  Tujuan Pembahasan

1.   Untuk Mengetahui Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.
2. Untuk Mengetahui Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.
3. Untuk Mengetahui Strategi Penanggulangan Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.

Banyak pendapat melontarkan berbagai penyebab orang melakukan korupsi di Indonesia, diantaranya :
1.  Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat;
2.  Ada pula penulis yang menunjuk latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
3.    Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien;
4.    Penyebab korupsi adalah modernisasi; Huntington memberikan jawaban[2] :
a. modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat;
b. modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan politik tidak diatur oleh norma-norma tradisional yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongan berpengaruh dalam masyarakat;
c. modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bidang kegiatan sistem politik. Modernisasi terutama di Negara-negara yang memulai modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipatgandakan kegiatan-kegiatan yang diatur pemerintah oleh peraturan-peraturan pemerintah.

Sedangkan pada lingkungan pemerintahan daerah faktor penyebab korupsi yang paling signifikan adalah[3] :
1.  Faktor politik dan kekuasaan; korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang kekuasaan eksekutif maupun legislatif yang menyalahgunakan  kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok atau golongannya. Data dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gajah Mada, apabila dibandingkan pada tahun 2009 ketika mereja yang terjerat kasus korupsi didominasi oleh anggota DPRD, pada tahun 2010 dan sesudahnya kepala daerah dan mantan kepala daerah ditempatkan pada posisi teratas sebagai pelaku korupsi.[4]modus yang dilakukan pun sangat beragam, mulai dari perjalan dinas fiktif, penggelembungan dana APBD maupun cara-cara lainnya yang bertujuan menguntungkan diri sendiri maupun golongan;
2.  Faktor ekonomi ; faktor ini dinilai tidak terlalu signifikan juka dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasan karena cenderung masih konvensional yaitu tidak seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup sehari-hari yang harus dipenuhi;
3.  Nepotisme; nepotisme yang cenderung masih kental terasa baik di sektor public maupun swasta. Di lingkungan daerah dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang menimbulkan penyalahgunaan kewenangan;
4.  Faktor pengawasan; lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti BPKP maupun Bawasda terhadap penggunaan keuang negara oleh pejabat-pejabat publik merupakan faktor yang penting yang menumbuhsuburkan budaya korupsi di daerah-daerah. Ketidak efektifan pengawasan itu sendiri sering diakibatkan sering terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara.

2.2 Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.

United Office On Drugs And Crime (UNODC) yang merupakan kantor PBB untuk masalah obat-obatan terlarang dan tindak kejahatan mengemukakan bahwa setidaknya ada empat kendala bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia termasuk di Indonesia dan pemerintahan daerahnya diantara lain:
1.  Kurangnya dana yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi. Hal ini mengindikasikan rendahnya upaya pemerintah untuk program pemberantasan korupsi yang belum menjadikan prioritas utama kebijakan pemerintahan serta political will yang masih rendah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Kurangnya bantuan yang diberikan negara-negara donor untuk program pemberantasan korupsi yang menimbulkan padangan bahwa masih minimnya kepercayaan dari negara-negara pendonor terhadap komitmen dan keseriusan pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi.
3. Kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.
4.  Rendahnya insentif dan gaji pejabat publik yang bisa mengancam profesionalisme, kapabilitas dan independensi hakim maupun aparat-aparat penegak hukum lainnya
Disamping faktor-faktor di atas keadaan di Indonesia menjadi tambah rumit karena terjadinya perdebatan tiada henti tentang posisi dan kedudukan hukum dari kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara. Perdebatan yang dimaksud adalah adanya beberapa pihak yang berpendapat bahwa kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara dapat disentuh oleh hukum pidana sehingga pejabat yang melakukan korupsi dapat dijerat oleh hukum pidana, sedangkan beberapa pihak lain berpendapat bahwa hukum administrasi negara merupakan satu-satunya perangkat hukum yang dapat menyentuh kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara. Akan tetapi perdebatan ini cenderung berlarut-larut tanpa adanya solusi yang efektif bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

2.3 Strategi Penanggulangan Pemberantasan Korupsi Pada Pemerintahan Daerah.

Ada dua pendekatan hukum yang dapat digunakan sebagai sarana  untuk memberantas tindak pidana korupsi yaitu :
1. Pendekatan preventive administrative; pendekatan ini disalurkan melalui bekerjanya ketentuan-ketentuan hukum tata usaha negara;
2. Pendekatan repressive judicial; pendekatan ini disalurkan melalui bekerjanya ketentuan-ketentuan hukum pidana.
Hukum pidana akan berfungsi sebagai penangkal tahap kedua setelah bekerjanya hukum tata usaha negara. Ketentuan perundang-undangan yang ada dalam ruang lingkup hukum tata usaha negara akan berfungsi mengatur dan  mengarahkan mekanisme tata usaha negara agar dapat mengurangi dan mencegah berbagai bentuk penyelewengan. Ketentuan hukum pidana sendiri berfungsi sebagai tanggul aktif yang mengiringi bekerjanya hukum tata usaha negara.[5] Kedua hal tersebut harus berjalan secara overall, integral dan simultan.

Secara substansial Indonesia memiliki seperangkat peraturan perundang-undangan (legal substance) untuk memberantas tindak pidana korupsi dan secara struktur juga memiliki banyak instansi (legal structure) yang seharusnya dapat didayagunakan untuk memberantas korupsi. Indonesia dirasa kurang memiliki budaya hukum (legal culture) yang merupakan kata kunci untuk keluar dari persoalan korupsi yang terjadi yang seolah-olah kalah dari kekuatan politik, uang dan sebagainya.

Indonesia telah berupaya melakukan legal reform untuk memberantas tindak pidana korupsi dengan membentuk perundang-undangan baru yakni Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001. Legal spirit dari kedua Undang-Undang ini korupsi digolongkan sebagai “extra ordinary crime” oleh karena itu diperlukan pemberantasan dengan menggunakan “extra ordinary instrument”.[6]

Timbul pemikiran bagaimana cara menumbuhkan kesadaran budaya hukum pada masyarakat. Karena legal reform tidak dirasakan manfaatnya tanpa adanya perhatian yang lebih terhadap budaya hukum.  Tanpa adanya upaya merubah persepsi dan perilaku mengenai korupsi maka upaya apapun tidak bisa mengatasi permasalah ini.  Strategi yang perlu dikembangkan adalah membangkitkan motivasi masyarakat untuk berpartisipasi yang diharapkan mampu memerangi korupsi. Dengan informasi yang diberikan masyarakat akan sangat berharga. Masyarakat dapat melaksanakan fungsi sosial kontrolnya untuk mengawasi jalannya proses penegakan hukum, sehingga dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Ada tiga tujuan strategis yang dapat dikembangkan untuk memberdayakan peran serta masyarakat lokal, yaitu[7] :
1. Lembaga pemerintah harus memberikan peluang bagi pengawasan masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan pemerintahan;
2. Menciptakan dan mendukung banyak organisasi pengawasan dari masyarakat;
3. Menyelesaikan kasus-kasus (kolusi, korupsi dan nepotisme) KKN di daerah.

Dari masing-masing tujuan strategis tersebut, ada beberapa hasil yang dapat diharapkan, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
1.      Hasil yang diharapkan dari tujuan strategis pertama:
a.   Jangka pendek : organisasi pengawasan oleh rakyat dibentuk, difungsikan dan diberikan akses atau kekuasaan untuk mengawasi praktik-praktik kerja pemerintah seperti pembuatan kebijakan public, pemantauan dan evaluasi dari kebijakan tersebut;
b.  Jangka menengah : organisasi pengawasan oleh rakyat berjalan dengan lancer dan akses untuk melakukan pengawasan diakomodasikan di dalam sistem;
c.  Jangka panjang : organisasi pengawasan oleh rakyat berjalan dengan lancar.
2.      Hasil yang diharapkan dari tujuan strategis kedua:
a.  Jangka pendek : mengidentifikasi lembaga-lembaga yang paling korup, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota dan menciptakan organisasi pengawas untuk memonitor mereka;
b.  Jangka menengah : secara berkala mengumumkan hasil temuan organisasi pengawas dan mengusulkan perbaikan system dan kinerja dalam institusi yang korup tersebut;
c. Jangka panjang : organisasi pengawas menjadi bagian dari masyarakat madani di negeri.
3.      Hasil yang diharapkan dari tujuan strategis ketiga:
a. Jangka pendek : gerakan anti korupsi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk menekan pemerintah agar menyelesaikan kasus-kasus korupsi kian  menguat;
b. Jangka menengah : organisasi-organisasi anti korupsi yang kuat terbentuk di daerah-daerah;
c. Jangka panjang : warga Negara menerapkan sanksi sosial untuk menghukum para koruptor untuk mendorong penegakan hukum.

Gerakan anti korupsi sebagai sebuah sosial yang cukup strategis apabila dimulai dari tingkat paling bawah, seperti gerakan daerah anti korupsi ditingkat kabupaten dan kota yang pada akhirnya bermuara pada sebuah gerakan nasional anti korupsi. Cikal bakal dari gerakan anti korupsi harus dimulai dari pembentukan organisasi-organisasi anti korupsi di tingkat daerah, dengan ditopang oleh kalangan akademisi dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang dapat diaktualisasikan untuk memerangi korupsi.[8]

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1.  Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi di pemerintahan daerah adalah faktor politik dan kekuasaan dimana yang berkuasa cenderung menyalahgunakan wewenangnya untuk mendapatkan keuntungan baik untuk dirinya sendiri maupun golongan, faktor ekonomi dari segi pemenuhan kebutuhan sehari-hari, faktor nepotisme yang mementingkan kepentingan golongan tertentu dan faktor pengawasan terhadap pemerintah yang dirasakan masih lemah.
2.  Masalah-masalah yang timbul dalam pemberantasan korupsi di pemerintahan daerah yakni berupa kurangnya dana yang diinventasikan pemerintah untuk memberantas korupsi, kurangnya bantuan donasi dari pemerintah asing yang cenderung menimbulkan pandangan bahwa kurangnya kepercayaan pemerintahan asing terhadap pemerintah Indonesia. Selain itu juga kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi, serta rendahnya gaji pejabat yang dipandang mampu mempengaruhi keprofesionalannya dalam melaksanakan tugas.
3.   Ditetapkannya Undang-Undang no.31 tahun 1999 jo Undang-undang no.20 tahun 2001 merupakan legal reform  pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. adapun starategi pemerintah yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi adalah dengan preventive administration (upaya administrasi) sebagai penangkal awal dengan diberlakukannya ketentuan hukum tata usaha Negara yana merupakan penangkal pertama dalam mengatasi korupsi yang selanjutnya strategi yang dilakukan adalah repressive judicial sebagai tanggul aktif dalam mengatasi korupsi dengan menerapkan ketentuan pidana dimana kedua strategi ini harus berjalan secara integral dan simultan.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi;Melalui Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005
Elwi Danil, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, Dan Pemberantasannya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.21 Tahun 2001





[1] Elwi Danil, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, Dan Pemberantasannya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 175
[2] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi;Melalui Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005 Hal 21
[3] http://makalahpaimin.blogspot.com diakses pada tanggal 10 April 2012 pukul 20.35 wib
[4] http://www.suaramerdeka.com diakses pada tanggal 10 April 2012 pukul 20.30 wib
[5] Elwi Danil, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, Dan Pemberantasannya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 183
[6] Ibid hal 185
[7] Ibid hal 188-189
[8] Ibid, Hal 191

Rabu, 28 Maret 2012


KEKERASAN ANAK DI SEKOLAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Salah satu wilayah yang menjadi sorotan perlindungan anak adalah lingkungan sekolah. Memang belum banyak kajian komprehensif tentang praktek tindak kekerasan di sekolah. Tetapi kenyataan yang muncul terutama di media massa banyak kasus kekerasan terjadi terhadap anak di sekolah. Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk perlakuan salah secara fisik, dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggungjawab, kepercayaan, atau kekuasaan.[1]
Kekerasan di sekolah dapat dilakukan oleh siapa saja, dari kepala sekolah, guru, Pembina sekolah, karyawan ataupun antar siswa. Kekerasan pada siswa belakangan ini terjadi dengan dalih mendisiplinkan siswa dan tidak jarang budaya dijadikan alasan membungkus kekerasan terhadap anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan kepala sekolah, guru, Pembina sekolah, karyawan antara lain memukul dengan tangan kosong, atau benda tumpul, melempar dengan penghapus, mencubit, menampar, mencekik, menyundut rokok, memarahai dengan ancaman kekerasan, menghukum berdiri dengan satu kaki di depan kelas, berlari mengelilingi lapangan, menjemur murid di lapangan, pelecehan seksual dan pembujukan persetubuhan.[2]
Kekerasan di sekolah tidak semata-mata kekerasan fisik saja tetapi juga kekerasan psikis, seperti diskriminasi terhadap murid yang mengakibatkan murid mengalami kerugian, baik secara moril maupun materil. Diskriminasi yang dimaksud dapat berupa diskriminasi terhadap suku, agama, kepercayaan, golongan ,ras ataupun status sosial murid.
Kekerasan antar siswa juga kerap terjadi yaitu berupa bullying yang merupakan perilaku agresif dan menekan dari seseorang yang lebih dominan terhadap orang yang lebih lemah, dimana seorang siswa atau lebih secara terus-menerus melakukan tindakan yang menyebabkan siswa lain menderita. Kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik seperti memukul, menendang, menjambak dan lain-lain. Selain bullying, kekerasan antar siswa yang sering terjadi adalah tawuran. Tawuran  mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan dan mengakibatkan perubahan aspek hubungan sosial dalam masyarakat.
Selain kekerasan fisik juga terjadi kekerasan verbal seperti mengejek, menghina atau mengucapkan kata-kata yang menyinggung atau membuat cerita bohong yang menyebabkan siswa yang menjadi sasaran menjadi terkucilkan atau menjadi bahan  olok-olok sehingga siswa yang bersangkutan menjadi rendah diri, takut dan sebagainya. Penelitian terhadap 2.600 siswa SD di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa 70% mengaku pernah mendapatkan tindakan yang tidak menyenangkan selama belajar sehingga sulit konsentrasi dalam belajar.[3]
Perlindungan terhadap anak di Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dianggap belum mampu mengatasi permasalah kekerasan anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Bahkan beberapa waktu yang lalu terjadi pergolakan pro dan kontra tentang disahkannya Undang-Undang ini dalam ruang lingkup proses ajar mengajar di sekolah. Melihat dari kasus di atas diperlukan pencegahan dan penanganan lebih lanjut mengenai kekerasan anak di sekolah yang dikhawatirkan keberadaannya semakin sering terjadi di lingkungan sekolah.

1.2.Rumusan Masalah
1.   Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan anak di sekolah?
2. Bagaimanakah peran hukum positif Indonesia dalam melindungi hak-hak anak korban kekerasan di sekolah?
3. Bagaimana upaya pihak-pihak terkait dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan anak di sekolah?

1.3.Tujuan Pembahasan
1.  Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan anak di sekolah.
2.  Untuk mengetahui peran hukum positif Indonesia dalam melindungi hak-hak anak korban kekerasan di sekolah.
3. Untuk mengetahui upaya pihak-pihak terkait dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan anak di sekolah.


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Anak Di Sekolah
Siswa yang terancam atau disakiti patut diperhatikan oleh pihak sekolah, dengan memerhatikan siswa atau kelompok siswa yang rentan menjadi korban dan siswa atau kelompok siswa yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Langkah-langkah yang harus dilakukan pihak sekolah dapat berupa membuat peraturan sekolah yang bersifat mencegah dan strategi mengelola kekerasan dengan tujuan untuk melindungi siswa-siwa yang menjadi korban secara terus-menerus.
Kemampuan sekolah mencegah dan menyelesaikan kekerasan antarsiswa juga dipengaruhi keterbukaan sekolah yang bersangkutan terhadap isu kekerasan ini. Selain itu pihak sekolah bisa melibatkan peran orang tua siswa untuk menyelesaikan kekerasan ini. Harus ada ketegasan pihak sekolah dan kejelasan sanksi yang diterapkan kepada pelaku agar pelaku berfikir ulang untuk melakukan kekerasan.
Kekerasan bisa menimbulkan cedera, seperti memar atau patah tulang yang bisa menyebabkan korban meninggal dan menyeret pelakunya ke penjara. Memukul murid juga tidak akan mempengaruhi perilaku mereka, bahkan kekerasan bisa menciptakan anak menjadi pemberontak, pemalu, tidak tenang, dan tidak secara ikhlas memenuhi permintahan atau perintah orang yang sudah berlaku keras kepadanya. Bahkan menurut Eizabeth Gersholff, dalam studi meta-analitis tahun 2003, yang menggabungkan riset selama enam puluh tahun tentang hukuman fisik, menemukan bahwa satu-satunya hasil positif dari kekerasan adalah kepatuhan sesaat.[4]

Penyebab anak melakukan bullying :
1.  Lingkungan sosial yang menjadi tempat anak tinggal memberikan contoh nyata tindal kekerasan. Baik berupa kekerasan dalam sosial, ekonomi, politik dan lainnya.
2. Menurut pendekatan filogenetik, terdapat pengaruh genetik terhadap sifat kekerasan. Tetapi sifat itu akan muncul apabila dipicu oleh keadaan lingkungan masyarakat.
3. Lingkungan sekolah yang formalistik dan kaku, bahkan bisa terjadi sikap dehumanisasi, membuat jarak antara relasi pendidik dengan peserta didik.
4.  Semakin menyempitnya ruang ekspresi anak di publik. Hegemoni pada ekpresi anak akan membuat anak mencoba terus untuk mengekspresikan kepada hal yang bersifat destruktif.
Pengaruh media berdampak luar biasa pada anak. Tayangan berita film, reality show, sinetron yang menampilkan adegan-adegan kekerasan yang ditonton anak merupakan contoh nyata dan pelajaran praktis bagi anak untuk melakukan hal yang sama.
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
1.      Dari Guru, Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru melakukan kekerasan pada siswanya, yaitu:
·    Kurangnya pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai harga diri siswa.
·     Adanya masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru yang bersangkutan menjadi lebih sensitif dan reaktif.
·      Adanya tekanan kerja
2.      Dari siswa, Salah satu faktor yang bisa ikut mempengaruhi terjadinya kekerasan, adalah dari sikap siswa tersebut. Sikap siswa tidak bisa dilepaskan dari dimensi psikologis dan kepribadian siswa itu sendiri. Contohnya, anak berusaha mencari perhatian dengan bertingkah yang memancing amarah, agresifitas,atau pun hukuman. Maksud dari melakukan hal tersebut dengan tujuan yakni mendapatkan perhatian.

3.      Dari Keluarga,
a)   Pola Asuh, Anak yang dididik dalam pola asuh yang memanjakan anak dengan memenuhi semua keinginan anak cenderung tumbuh dengan sifat yang arogan dan tidak bisa mengontrol emosi. Jadi anak akan memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, dengan cara apapun juga asalkan tujuannya tercapai.

b)      Orangtua mengalami masalah psikologis
Jika orangtua mengalami masalah psikologis yang berlarut-larut, bisa mempengaruhi pola hubungan dengan anak. Misalnya, orang tua yang stress berkepanjangan, jadi sensitif, kurang sabar dan mudah marah pada anak, atau melampiaskan kekesalan pada anak. Lama kelamaan kondisi ini mempengaruhi kehidupan pribadi anak. Ia bisa kehilangan semangat, daya konsentrasi, jadi sensitif, reaktif, cepat marah, dan sebagainya.

c)      Keluarga disfungsional
Keluarga yang salah satu anggotanya sering memukul, atau menyiksa fisik atau emosi, intimidasi anggota keluarga lain atau keluarga yang sering konflik terbuka tanpa ada resolusi, atau masalah berkepanjangan yang dialami oleh keluarga hingga menyita energy psikis dan fisik, hingga mempengaruhi interaksi, komunikasi dan bahkan kemampuan belajar si anak.
4.      Dari Lingkungan, Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi selama ini juga terjadi karena adanya faktor lingkungan, yaitu:
·    Adanya budaya kekerasan : seseorang melakukan kekerasan karena dirinya berada dalam suatu kelompok yang sering terjadi tindakan kekerasan, sehingga memandang kekerasan adalah merupakan hal yang biasa.
·       Adanya tradisi : Contoh, kekerasan yang terjadi antara mahasiswa senior dengan mahasiswa junior, dimana mahasiswa senior tersebut meniru tindakan-tindakan yang dilakukan seniornya terdahulu yang melakukan hal yang serupa terhadap dirinya.
·      Tayangan televisi yang banyak berbau kekerasan
  1. Peran Hukum Positif Indonesia Dalam Melindungi Hak-Hak Anak Korban Kekerasan Di Sekolah
Kekerasan di sekolah baik kekerasan fisik maupun verbal bisa dikenakan sanksi hukum karena kekerasan pada dasarnya adalah tindakan pelanggaran hukum yang bisa dipidanakan. Melakukan kekerasan terhadap anak di sekolah dapat dikenai sanksi yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 77 hingga Pasal 90. Untuk kekerasan psikis terhadap anak, dapat dikenakan Pasal 77;
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
a. Diskiriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;atau
b.  Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penelantaran, baik fisik, mental, maupun sosial;
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau”.
Kekerasan terhadap anak apabila mengakibatkan kerugian secara materil juga dapat digugat secara perdata. Gugatan perdata bisa diajukan ke pengadilan negeri terhadap pelaku kekerasan di sekolah atau pihak sekolah sebagai lembaga berupa gugatan ganti rugi material dan immaterial dalam bentuk uang atau natura. Gugatan ini mengacu pada ketentuan
·         Pasal 1365 KUH Perdata; “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
·         Pasal 1366 KUH Perdata ; “setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian, atau kurang hati-hatinya”.
·         Pasal 1367 KUH Perdata ; “guru sekolah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid selama waktu murid itu berada di bawah pengawasan mereka, kecuali jika mereka dapat mencegah perbuatan yang mesti mereka seharusnya bertanggungjawab”.

3.    Upaya Pihak-Pihak Terkait Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Kekerasan Anak Di Sekolah
§  Reaksi pendidik
Selama perjalanan penegakan Undang-Undang Perlindungan Anak, muncul sikap-sikap yang  tidak setuju terhadap Undang-Undang tersebut. Pernah muncul wacana Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Wacana ini melakukan upaya pengecualian hukum pidana bagi kalangan penduduk yang melakukan kekerasan terhadap peserta didik. Lahir pula pendapat dan argument yang menyatakan Undang-Undang Perlindungan Anak akan menghambat proses pendidikan, menjadi penghalang dalam pelaksanaan tugas profesi sebagai guru. Alasannya sederhana, guru tidak bisa lagi menghukum siswa dengan kekerasan. Kata lain dari pendisiplinan yang menyebabkan kerugian bagi siswa, baik secara fisik maupun psikis.[5]

§  Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan pada siswa di Sekolah
Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi kekerasan pada siswa di sekolah, yaitu:
a.       Bagi Sekolah
·      Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah
·     Pendidikan tanpa kekerasan adalah suatu pendidikan yang ditujukan pada anak dengan mengatakan "tidak" pada kekerasan dan menentang segala bentuk kekerasan. Hukuman yang diberikan, berkorelasi dengan tindakan anak. Ada sebab ada akibat, ada kesalahan dan ada konsekuensi tanggung jawabnya.Dengan menerapkan hukuman yang selaras dengan konsekuensi logis tindakan siswa yang dianggap keliru, sudah mencegah pemilihan / tindakan hukuman yang tidak rasional.
·    Sekolah terus mengembangkan dan membekali guru baik dengan wawasan / pengetahuan, kesempatan untuk punya pengalaman baru, kesempatan untuk mengembangkan kreativitas mereka. Guru juga membutuhkan aktualisasi diri, tidak hanya dalam bentuk materi, status, dsb. Guru juga senang jika diberi kesempatan untuk menuangkan aspirasi, kreativitas dan mencoba mengembangkan metode pengajaran yang menarik tanpa keluar dari prinsip dan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, sekolah juga bisa memberikan pendidikan psikologi pada para guru untuk memahami perkembangan anak serta dinamika kejiwaan secara umum. Dengan pendekatan psikologi, diharapkan guru dapat menemukan cara yang lebih efektif dan sehat untuk menghadapi anak didik.
·   Konseling. Bukan hanya siswa yang membutuhkan konseling, tapi guru pun mengalami masa-masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan, atau pun bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.
·     Segera memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan menindaklanjuti kasus tersebut dengan cara adekuat.
Sekolah yang ramah bagi siswa merupakan sekolah yang berbasis pada hak asasi, kondisi belajar mengajar yang efektif dan berfokus pada siswa, dan memfokuskan pada lingkungan yang ramah pada siswa. Menurut Rini (2008), perlu di kembangkan pembelajaran yang humanistik yaitu model pembelajaran yang menyadari bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi yang otomatis namun membutuhkan keterlibatan mental, dan berusaha mengubah suasana belajar menjadi lebih menyenangkan dengan memadukan potensi fisik dan psikis siswa.
b.      Bagi Orangtua atau keluarga
·    Perlu lebih berhati-hati dan penuh pertimbangan dalam memilihkan sekolah untuk anak-anaknya agar tidak mengalami kekerasan di sekolah.
·    Menjalin komunikasi yang efektif dengan guru dan sesama orang tua murid untuk memantau perkembangan anaknya.
·    Orangtua menerapkan pola asuh yang lebih menekankan pada dukungan daripada hukuman, agar anak-anaknya mampu bertanggung jawab secara sosial
·      Hindari tayangan televisi yang tidak mendidik, bahkan mengandung unsur kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan dalam film cenderung dikorelasikan dengan heroisme, kehebatan, kekuatan dan kekuasaan.
·   Setiap masalah yang ada, sebaiknya dicari solusi / penyelesaiannya dan jangan sampai berlarut-larut. Kebiasaan menunda persoalan, menghindari konflik, malah membuat masalah jadi berlarut-larut dan menyita energy. Sikap terbuka satu sama lain dan saling mendukung, sangat diperlukan untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan baik.
·   Carilah bantuan pihak professional jika persoalan dalam rumah tangga, semakin menimbulkan tekanan hingga menyebabkan salah satu atau beberapa anggota keluarga mengalami hambatan dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari.
c.       Bagi siswa yang mengalami kekerasan, Segera sharing pada orangtua atau guru atau orang yang dapat dipercaya mengenai kekerasan yang dialaminya sehingga siswa tersebut segera mendapatkan pertolongan untuk pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.[6]
Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak, baik guru, orang tua dan siswa untuk memahami bahwa kekerasan bukanlah solusi atau aksi yang tepat, namun semakin menambah masalah. Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat dan mengurangi terjadinya kekerasan pada siswa. Perlu diingat, bahwa untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan kerjasama dari semua pihak.
Selain upaya-upaya psikologis yang diterapkan dan sanksi-sanksi pidan yang diberlakukan terhadap pelaku kekerasan terhadap anak di sekolah. Pemerintah juga menerapka sekolah ramah anak (SRA) yang keberadaan guru sangat berperan. Ada beberapa langkah menuju SRA, yaitu :
1) Guru tidak mendudukkan dirinya sebagai penguasa kelas/mata pelajaran, tetapi sebagai pembimbing kelas
2) Guru seharusnya mengurangi kelantangan suara dan lebih mengutamakan keramahtamahan suara
3) Guru harus mengurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan menggantinya dengan ajakan.
4)  Hal-hal yang menekan siswa harus dikurangi sebanyak mungkin.
5) Hal-hal yang menekan diganti dengan member motivasi sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, melainkan member stimulasi.
6) Guru harus menjauhi sikap ingin menguasi siswa karena yang lebih baik adalah mengendalikan. Hal itu terungkap bukan dengan kata-kata mencela, melainkan dengan kata-kata yang membangun keberanian/kepercayaan diri siswa.
7)  Guru hendaknya menjauhkan diri dari mencari-cari kesalahan siswa, tetapi harus mengakui prestasi sekecil apa pun yang dihasilkan siswa.
8) Guru harus lebih sering melibatkan siswa, dengan lebih sering berkata “aku mengajurkan/meminta, mari kalian ikut menentukan juga”. Guru seharusnya menghindari kata-kata “aku yang menentukan, kalian menurut saja apa perintahku”[7]
Sistem sosial yang stabil (equilibrium) dan berkesinambungan (kontinuitas) senantiasa terpelihara apabila terdapat adanya pengawasan melalui dua macam mekanisme social dalam bentuk sosialisasi dan pengawasan sosial (control social).
1)  Sosialisasi maksudnya adalah suatu proses dimana individu mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada adat istiadat (norma) suatu kelompok yang ada di dalam system sosial, sehingga lambat laun yang bersangkutan akan merasa menjadi bagian dari kelompok yang bersangkutan.
2)  Pengawasan sosial adalah “proses yang direncanakan atau yang tidak direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa masyarakat agar mematuhi norma dan nilai.” Pengertian tersebut dipertegas menjadi suatu pengendalian atau pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.[8]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Faktor terjadinya kekerasan anak di sekolah berupa pengaruh lingkungan social, factor genetik, pengaruh lingkungan sekolah, dan menyempitnya ruang ekspresi anak. Selain itu juga terdapat pengaruh yang timbul dari pihak guru, siswa itu sendiri, pengaruh dari keluarga dan pengaruh lingkungan.
 2. Pemerintah menuangkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi hak-hak anak yang di dalamnya mencakup hak-hak anak yang mengalami kekerasan, yakni dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 77 sampai dengan Pasal 90 serta dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1367.
3. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak terkait dalam menangani kekerasan anak di sekolah digerakkan oleh guru, pihak sekolah, dan terhadap siswa yang dibantu dengan control orang tua dan control dari masyarakat



[1] UNICEF; 2002
[2] Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009 hal 142
[3] Departemen Character Building Universitas Bina Nusantara, 2007
[4] Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, 2007, Kekerasan Di Sekolah, Jakarta : Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Hal 32
[5] ibid
[6] http://www.e-psikologi.com/epsi/pendidikan_detail.asp?id=499 diakses 27 Desember 2011 pukul 22.30 wib
[7] J.C Tukiman Taruna, 2007, Dalam Rika Saraswati, Dkk, 2007. Safe School Dan Kekerasan Berbasis Jender : Studi Eksploratif Di Sekolah Menengah Di Kota Semarang, Laporan Penelitian, Tidak Dipublikasikan, Semarang : Pusat Studi Wanita Unika Soegijapranata.
[8] Www.Blog.Ac.Id/Fenomena-Tawuran-Antar-Pelajar Diakses Pada Tanggal 4 Januari 2012 Pukul 15.00 Wib